Aku memanggilnya Kakak, putri satu-satunya dari adik ibuku. Umur kami berdua dekat, hanya berbeda 2 tahun. Tapi kami tak dekat, karena sejak kecil kami dibesarkan di kota yang berbeda. Ibuku sering sekali bercerita tentang dia, tidak membuatku tambah menyukainya, malah sebaliknya aku sangat tidak menyukainya, karena dia selalu terdengar sempurna. Ketahuilah, tak ada hal yang lebih menyakitkan dari mendengar ibumu sendiri menyanjung-nyanjung gadis lain seolah dia berharap gadis itu putrinya, memuakkan.
Hanya 2 hal yang kuketahui sebagai persamaan kami : perempuan dan anak tunggal, selain itu aku merasa sangat berbeda darinya. Dia cantik, atau jika banyak yang mengatakan cantik itu relatif maka aku akan mengatakan dia menarik secara fisik berdasarkan standar umum : kulit putih, rambut panjang, tinggi, langsing, dan itu semua didukung oleh gayanya yang feminim. Aku, boleh dibilang hampir kebalikannya.Aku tak tahu apakah dari sananya kami sudah sangat berbeda, atau dari kenyataan bahwa selama ini kami selalu bersaing -lebih tepatnya aku ingin selalu bisa mengalahkannya. Selalu.
Kalau kakak menang satu perlombaan, aku akan berusaha untuk menang dua. Kalau Kakak juara kelas, aku akan juara angkatan. Kalau Kakak murid teladan kota, aku akan murid teladan provinsi. Kalo Kakak masuk ke jurusan favorit di universitas terbaik, aku masuk jurusan terbaik di universitas terbaik. Kalo Kakak lulus sebagai sarjana terbaik, aku lulus sarjana dan master terbaik. Aku akan melakukan apapun lebih baik dari dia! Itu terus berlanjut, bahkan sampai saat ini. Hanya, kali ini ada yang berbeda, sesuatu yang membuatku sangat kesal.