Sunday, January 10, 2010

Sore Menuju Jakarta

Pinggangku sakit.

Sudah dua jam lewat, dan papan di tengah jalan tol ini baru sampai pada angka 50. Masih 50 km lagi sampai ke kota Jakarta.

Hampir setahun sudah aku melewati rutinitas akhir minggu ini, perjalanan ke Bandung saat jumat malam, dan kembali ke Jakarta pada minggu sore. Perjalanan dimana sekali pergi seharusnya hanya memakan waktu dua jam (seperti diiklankan dulu saat tol ini dibuka) akan membengkak menjadi 3-5 jam saat akhir minggu seperti ini. Ratusan bahkan mungkin ribuan orang dari Ibukota hijrah bersama-sama menuju Bandung. Setahun lalu, aku masih mengutuki mobil plat B yang memenuhi jalanan Bandung, sekarang siapa sangka aku akan menjadi bagian dari orang-orang yang kukutuki itu. Haaahhh... Sungguh tidak keren!

Aku tak bisa bilang aku menyenangi rutinitas ini, tapi aku membutuhkannya. Hari kerja mungkin hanya 5 hari dalam seminggu, 8 jam setiap harinya, tapi aku merasa itu telah berabad mengambil angka usiaku setiap harinya. Mengapa? Karena... Ah sudahlah, akan butuh beberapa halaman lain hanya untuk membahasnya. Intinya, rutinitas pulang ke Bandung ini telah menjadi kebutuhan, aku butuh merecharge semangatku, dan kota berjarak 120 km dari Jakarta itulah tempat dimana bateraiku dapat diisi kembali.

Jumat kemarin aku berangkat menuju Bandung dengan tujuan itu di dalam kepala, dan aku boleh kecewa karena tujuan itu tak sepenuhny tercapai. Yah, akan sulit untuk mengisi ulang tenaga saat yang kau dengar hanya keluhan dan argumen pertengkaran. Rumahku tak terasa sama lagi.

Beberapa bulan lalu ayahku divonis menderita satu penyakit, Bell's Palsy namanya, penyakit syaraf wajah yang membuat syaraf wajah bagian kanannya mati, dia terlihat seperti two-face dalam film Batman sekarang. Aku sendiri tak begitu tertekan dengan penyakit baru ayahku ini, selama bertahun-tahun aku dibesarkan dengan pemikiran bahwa ayahku sakit, beliau memang menderita asma kronis semenjak lama. Jadi tambahan satu penyakit seperti ini tak terlalu membuatku tertekan. Tetapi ternyata tidak dengan ayahku, dia menerima penyakitny ini dengan lebih berat dibanding kami keluarganya. Temperamennya mudah sekali naik akhir-akhir ini, pagi ini saja aku dipanggil sarapan melalui suara adu argumen orangtuaku, yang hanya meributkan tentang satu pemberian kecil pada saudara. Aku mengurungkan niatku untuk sarapan dan diam di kamar sampai ayahku bersiap berangkat, barulah aku turun menyapanya dan memberi salam karena sorenya aku akan langsung pulang ke jakarta. Sesudah ayah pergi, aku sarapan dengan diiringi curhat panjang ibuku tentang berbagai hal. Aku ingin mendengarkannya, tapi kepalaku pusing, akhirnya aku menyalakan TV dan menonton serial CSI, entah mengapa penyelidikan pembunuhan ini terasa lebih menghibur dari rumahku sendiri.

Sekarang aku dalam perjalanan kembali ke Jakarta, dan tidak merasa ter-recharge sama sekali. Kupikir, mungkin ini adalah efek bertambah dewasa, kau tak punya lagi lahan untuk bermanja saat kau berharap bisa merasakannya. Atau mungkin hanya aku saja yang merasa begitu? Mungkin. Tapi mau bagaimana lagi, hanya aku yang dianggap bisa mendengar semua keluhan itu. Pikiran Kakak laki-lakiku terlalu terpecah untuk bisa fokus pada masalah keluarga, meskipun dia masih tinggal di tengah-tengahnya. Dan kakak perempuanku... Ah... Biarlah tak usah menambah sulit hidupnya yang memang terlalu sulit dimengerti, bahkan oleh dirinya sendiri. Yang tersisa hanyalah aku, anak bungsu yang kehilangan hak bermanjanya lebih cepat.

Sekarang dalam perjalanan yang tersisa ini aku perlu memikirkan bagaimana mengejar sisa baterai yang belum terisi. Mungkin dengan menonton ulang Sherlock Holmes di bioskop, atau mungkin dengan secangkir kopi panas. Aku akan menentukannya saat sudah sampa, setidaknya aku masih punya beberapa jam sampai hari senin dimulai.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

2 comments:

Batari Saraswati said...

"Kupikir, mungkin ini adalah efek bertambah dewasa, kau tak punya lagi lahan untuk bermanja saat kau berharap bisa merasakannya." -- Nggak sendirian kok Put, gue juga sering merasa begitu.. Tapi sepertinya memang harus begitu ya, kita nggak bisa lagi selalu mengandalkan orang lain untuk mencerahkan kita. Kita juga sudah harus mulai berusaha mencerahkan orang lain.. Hmmmph.

Unknown said...

@bat : yup, mencerahkan org lain, ultimate goalnya manusia dewasa!
Gw pernah denger, klo udah gede istilahnya itu 'manjain diri' bukan 'dimanjain orang'...
Yah, semuanya butuh evolusi lah... :)