Kafe sudah kosong, begitu pula jalan Braga. Tempat gemerlapan kota ini di masa lampau, sekarang tak lebih dari tempat mangkal beberapa pelacur saat malam tiba. Bikin miris, tapi entah harus dibagaimanakan.
Trem membereskan peralatan di belakang counter. mengelap bercak-bercak susu, kopi ataupun cokelat di atas meja. Mematikan semua peralatan tapi meniggalkan coffee maker dalam keadaan menyala, dia masih butuh secangkir latte untuk malam ini.
Semuanya sudah beres dan latte panasnya pun sudah siap dalam cangkir. Dia mengambil cangkir panas itu dan duduk di salah satu kursi yang menghadap langsung ke jalan Braga. Mengingat kembali persoalan semalam lalu yang dia singkirkan jauh-jauh selama siang ini.
---
"kita menikah bulan depan..."
Perkataan Ray itu cukup untuk membuatnya memuntahkan makan malamnya saat itu.
"APA?!" trem berteriak sambil berbalik menghadapi kekasihnya itu. "kamu becanda kan?" tambahnya sambil berusaha nyengir.
Ray hanya mengangkat bahu dan menggeleng. "tidak, saya serius, saya melamar kamu ke ayah kamu siang tadi", katanya lagi.
"APA?!" sekali lagi teriakan itu keluar, kali ini ditambah bunyi gelas yang terguling keras di atas meja, "kamu... ngela...ke ayah saya...?"
Ray hanya mengangguk kecil sambil menyeruput espressonya. Trem bingung untuk menunjukkan reaksi macam apa. Pernikahan....? itu adalah hal terakhir yang akan dipikirkannya saat ini. Dan sekarang ada manusia yang dengan seenaknya megatakan 'bulan depan kita menikah' tanpa ada pemberitahuan sebelumnya sedikitpun, lagipula, dia tak pernah merasa dilamar.
"ya Tuhan ray... apa maksudnya ini?"
"simpel kan, saya melamar kamu ke ayah kamu, dia bilang oke, ya sudah... bulan depan kita menikah, beres" kata Ray.
"oke, tapi saya gak pernah merasa dilamar!"
Ray mengangkat alisnya, "emang perlu ya?"
'tentu saja bodoh! kau mau mengambil hidup seorang wanita tanpa bertanya dulu padanya? ya Tuhan... apa kau dibesarkan simpanse?!'.
" 'emang perlu?', jangan main-main ray kamu bilang mau menikah dengan saya tapi gak pernah tanya saya apa saya mau atau enggak, dan menurut kamu itu wajar?" kata Trem.
"you said you love me, i think that's enough" balas Ray.
"but i never say that i will marry you, no... i mean, not now"
Ray memandang Trem lekat-lekat dan ekspresinya tak banyak berubah dari saat dia berkata 'kita menikah bulan depan'.
"jadi kamu tak mau menikah dengan saya?" katanya lagi.
"bukan itu masalahnya, hanya saja..."
"apa?"
"ini terlalu cepat ray, saya sudah bilang sama kamu kan, saya ingin lulus dulu, ingin kerja... ngumpulin banyak uang, ngebahagiain orang tua saya dan..."
"dan kenapa itu tidak bisa dilakukan setelah kita menikah?" balas Ray.
"karena kamu! suami saya nantinya, kamu akan jadi prioritas pertama saya kalau kita sudah menikah" Trem membalas keras, berharap dapat menembus kekeraskepalaan laki-laki di hadapannya. Ray terlihat berpikir, tapi beberapa saat kemudian dia menggeleng.
"tidak, itu bukan alasan, kamu hanya mengarangnya saja"
"hah... tapi ray..."
"tremi..." nada bicaranya meninggi, Trem diam, "pertama, kalau tentang kelulusan, pernikahan kita sama sekalai tak merubah isi tugas akhir kamu atau bahkan menghancurkannya jadi tak ada kaitannya, kedua, soal uang, saya tak akan pernah melarangmu bekerja meskipun tanpa itu pun saya sudah bisa menghidupi kita berdua dan keluarga kamu lebih dari cukup, ketiga, soal ngebahagiain orangtua, sebaiknya kamu bertanya pada mereka tentang hal yang membuat mereka bahagia, bukan seenaknya menebak-nebak sendiri, cukup?!"
Trem tidak menjawab. Ray kemudian meletakkan cangkirnya, berdiri dan mengambil jas kerjanya yang dia sandarkan di kursi.
"kenapa kamu keras kepala banget sih" timpal Trem. Ray berbalik menatapnya lurus, tatapannya melunak, dia tersenyum.
"karena memang seharusnya begitu jika berurusan dengan kamu tremi" jawabnya.
Trem kembali diam, tak tahu harus membalas apa.
"saya harus balik ke jakarta, kita ketemu lagi besok malam, tunggu disini, entar saya jemput" katanya, Ray menuju pintu keluar dan sudah memegang gagang pintu saat Trem berteriak, "gimana kalo saya nolak?!"
Ray berbalik, "menolak apa?"
"ya...pernikahan ini..." balas Trem takut-takut, dia tak berani memandang wajah Ray.
Ray terus diam, dia menyandar ke pintu dan terus memandang Trem dari sana.
"kalo begitu tremi, kita buat simpel aja..." trem sekarang menoleh ke arahnya, menunggu.
"kita menikah bulan depan.... atau.... tidak sama sekali!" lanjut Ray tenang. Trem melotot mendengar ini. Sedari tadi dia berharap bahwa ini semua hanya becandaan bahwa kekasihnya itu sedang terserang sindrom 'ayo menikah' dan akan sembuh secepatnya, tapi rupanya dia serius, sama sekali tak bercanda. Dia masih memandang Ray tak percaya dan kesalnya, dibalas dengan begitu tenangnya oleh manusia satu itu.
"ketemu lagi besok, hati-hati entar pulangnya, bye", Ray membuka pintu dan melangkah menjauh.
---
Kembali dengan Trem yang sedang melamun dengan ditemani secangkir latte panasnya. Dia melempar pandang ke sudut terjauh jalan Braga, berharap menemukan sepasang lampu berkedip ke arahnya. Si 'tuan' yang sedang ditunggu-tunggu masih belum datang. Dia menghela nafas panjang dan menunduk di atas meja, berbisik pelan...
"Tuhan... dulu saat aku berdoa agar ayahku selalu sehat, Kau malah membuatnya sakit... saat aku berkata bahagia karena kakak yang luarbiasa yang Kau anugerahkan padaku, kemudian Kau buat dia kabur meninggalkan kami... dan sekarang... saat aku berencana untuk menunda satu mimpi dan mengejar mimpi yang lain, Kau malahan mendekatkan yang kutunda dan menjauhkan yang kuinginkan... rencana seperti apa lagi ini Tuhan?"
Trem mengangkat kepalanya, menengok kembali ke arah jalan Braga dan menemukan sepasang lampu mobil mengedip-ngedip sembari mendekat. Mobil Cherokee hitam kemudian muncul menyusul sinar lampunya yang sudah duluan sampai. Dia mendekat dan kemudian parkir di depan kafenya. Pintu di sisi pengemudi terbuka dan seorang pria keluar dari sana, masih mengenakan setelan kantornya walau sudah tak serapih saat pagi hari. Dia menengok ke arah Trem dan tersenyum, Trem balas tersenyum. Dan berharap semoga itu bukan yang terakhir.