Wednesday, October 31, 2012

Terbang

Jalan ini terasa terlalu lurus. Papan penunjuk jarak jalan tol berlari melewatiku, 80? 100? 120 km/jam? Aku tak punya kemampuan untuk memperkirakan seberapa cepat mereka berlari ke arahku, atau mobil yang kutumpangi ini yang melaju melewati mereka? ada satu hukum yang menjelaskannya bukan? Newton? 1 atau 2?

Ah, aku tidak ingat. Dia selalu menceritakan semua hal rumit itu dengan senyum lebar dan mata berbinar, seperti orang jatuh cinta. Tapi apalah itu disebutnya jika kau jatuh cinta pada hukum fisika?

Aku menutup mata, masih sekitar 20 kilometer lagi sampai ke bandara, dan 12 ribu kilometer sampai Paris. Paris? bukan... dia bilang dia bukan akan ke Paris, Marseille lebih jelasnya. Aku tak pernah dengar nama kota itu sebelumnya. Satu-satunya kota di Perancis yang aku tahu adalah Paris dan mendengar namanya selalu membuatku berpikir, mengapa ada yang mau menamai satu kota dengan nama seorang pria romantis pengecut, atau dalam abad yang berbeda, nama seorang perempuan kaya manja? Yah, aku sendiri pun tak tahu mana yang memakai nama itu lebih dulu.

Dia akan berangkat ke sana tak lama lagi, sekitar dua jam lagi jika tidak salah, untuk satu tujuan... belajar fisika. Aku tak pernah habis pikir kenapa seseorang mau belajar fisika atas kemauan sendiri. Fisika memang menyenangkan, lebih mudah dimengerti dibanding Kimia, dan jelas lebih matematis, tapi tetap saja, aku tak pernah begitu mengerti apa yang bisa dilakukan dengan mengetahui bagaimana menghitung jarak lontar peluru ataupun dari menghapal semua hukum-hukum berbahasa aneh itu. Toh kalau sampai suatu saat aku melontar peluru, aku tak akan punya waktu untuk menghitung terlebih dahulu, itu pun kalau sampai suatu saat aku punya kesempatan untuk melontar peluru. Tapi dia menyukai Fisika seperti aku menyukai makanan.


Ah, aku ingat saat dulu dia sering bercerita tentang Newton dan semua hal luar biasa yang dilakukannya. Kegirangannya saat menemukan satu buku tua berisi manuskrip awal hukum Newton di Pasar Seni ITB, bagaimana dengan menggebunya dia bercerita tentang gravitasi, alam semesta dan astronomi, dan bagaimana dia dengan bahagia membaca buku Sagan dan Hawking saat aku hanya membaca Harry Potter.

Saat itu aku berpikir, mungkin reinkarnasi itu benar adanya. Mungkin roh yang saat ini menempati tubuhnya itu sebenarnya berasal dari satu ilmuwan fisika di masa lalu yang berusaha menemukan kembali kejayaannya di masa sekarang. Aku pikir itu penjelasan yang paling masuk akal, apalagi yang bisa menjelaskan seorang gadis remaja abad 21 yang dengan santai mendengarkan album Queen sambil membaca Brief History of Time?! Dia pasti berasal dari abad yang berbeda.


Tapi kali ini kami bukan remaja lagi. Kami sudah tumbuh besar, lulus dengan susah payah (untuk kasusku) dari universitas, dan akhirnya mendapatkan pekerjaan dengan gaji cukup (untuk kasusku). Untuknya, dia memutuskan untuk melanjutkan kembali belajar fisika. Atas pilihan sendiri, atas kesenangan sendiri, bahkan mungkin dengan mengeluarkan sedikit uang sendiri, karena siapa yang bisa mengira berapa mereka memberi beasiswa pada mahasiswa di masa seperti sekarang. Aku tak habis pikir, setelah enambelas tahun terjebak di bangku sekolah, belajar hal-hal rumit yang selalu membuatku bertanya apa fungsinya ini nanti saat aku lulus, dan kemudian memilih untuk kembali ke bangku sekolah dan belajar lebih banyak hal rumit lagi? Dia jelas orang aneh. Apa untungnya? selalu itu yang aku pertanyakan.

Perbedaan itu aku sadari saat kami sudah menjalaninya. Saat kami bertemu untuk minum kopi di tengah kota, mengobrol ngaler-ngidul tidak jelas, dan tiba pada saatnya masing-masing curhat. Aku selalu menjadi orang dengan keadaan paling mengenaskan. Berkeluh kesah tentang pekerjaan, tentang hidup di kota besar, tentang orang-orang yang tidak sesuai harapan, tentang perasaan tertekan karena tidak tahu apa yang sebenarnya aku inginkan, tentang hampir semua hal yang bisa kutangkap dengan mataku.

Dia di lain pihak, bercerita tentang satu penelitian. Kembali tentang alam semesta, tentang apa yang disebut Standard Model dan satu teori lagi yang aku tak ingat namanya, tentang orang dengan nama-nama aneh yang mungkin di kemudian hari menjadi sebutan untuk satuan tertentu, tentang penelitian lain dan teori lain... tentang hidupnya. Ada perbedaan kental disana, aku dengan keluh kesahku atas hidup yang kupilih sendiri dan dia dengan semangatnya tentang mimpi yang dia pilih sendiri.

Dia selalu bercerita dengan nada lemah, dengan kening berkerut dan ungkapan kekesalan diujung lidah. Tapi matanya selalu berbinar, selesu apapun dia bercerita, aku tak pernah menangkap kesan kalau dia putus asa. Saat itu aku sadar, mungkin inilah yang berbeda, dia hidup dalam passion nya. Passion, kata unik yang selalu menggelitik telinga dan membuat putus asa... bagi orang yang selalu merasa tidak memilikinya. Mungkin itu yang membuat mata itu berbinar. Walau dia berbicara tentang hal-hal yang orang lain tidak mengerti, walau dia mungkin tidak punya saldo tabungan yang lebih besar dari yang kumiliki sekarang, walau mungkin dia dengan takut-takut harus terbang 12 ribu kilometer jauhnya, dia sedang mengejar passion nya.

Aku membuka mata lagi. Ah, sudah sampai rupanya. Bandara tua ini selalu terasa tidak terawat. Penuh sesak dengan orang-orang yang akan pergi ke berbagai belahan dunia. Ada yang berkulit cokelat, hitam, putih, kuning, untungnya tak ada yang berkulit merah. Aku melewat arus ribuan manusia dan menuju tempat dimana kutahu dia sedang menunggu. Duduk disana dikelilingi keluarganya, terlihat gugup tapi juga antusias. Aku hanya tersenyum.

Aku mendekatinya, mengucapkan salam pada keluarganya, bertukar kabar sebentar kemudian duduk dengannya di bangku panjang. Dia di sebelahku dan seorang sahabatku yang lain di sebelahnya. Kami mengobrol sebentar, tertawa-tawa, bertukar kabar tentang beberapa kawan lain yang tidak ikut mengantar. Sampai tiba waktunya dia harus berangkat.

Matanya terbangun waspada, dan sekali lagi dia mengucap khawatir tentang harus naik pesawat terbang. Aku melontarkan candaan tentang kemungkinan sebuah pesawat jatuh ke tanah, dan tertawa keras saat wajahnya bertambah pucat. Ah, anak ini memang lucu.

Kami berpelukan sebentar, saling menepuk punggung satu sama lain dan mengucap kata perpisahan. Aku memandangnya sebentar dan berkata, “semoga bisa ketemu Hawking”. Dia hanya menampik sekenanya, dan berkata tidak mungkin. Tapi, mungkin saja bukan? berapa orang yang berani menjadikan theoritical physics sebagai pilihan hidupnya? lebih banyak orang yang terlalu takut untuk mendengar semua teori itu.

Dia mengangkat ranselnya ke bahu, menenteng tas biola di tangan, menghela nafas panjang sebelum berjalan ke pintu masuk area boarding. Kami hanya memandangnya berjalan menjauh, tersenyum lebar dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Bercakap tentang betapa kami tak menduga bahwa diantara kami semua, 
akhirnya dia yang pergi ke negeri nun jauh disana. Sahabatku berkata padaku, “kayak ngelepas anak sendiri pergi ya”. Aku hanya tersenyum, ungkapan yang lucu, karena sebenarnya dia lebih tua dari kami berdua.

Ah, untuk dua tahun ke depan dia akan berada disana. Tak terbayang olehku betapa aku akan sangat merindukannya. Tapi dia disana untuk mengejar mimpinya, untuk menjalani passion nya, untuk melakukan apa yang selama ini ingin dia lakukan. Aku meninggalkan bandara dengan perasaan yang lebih ringan, dengan senyum lebar dan pikiran yang lebih tenang.

Mungkin aku belum seberuntung itu, menemukan passion dan mengejarnya sampai mati. Tapi yang aku tahu, Tuhan sangat baik padaku, karena mempertemukanku dengan berbagai manusia hebat, dia salah satu diantaranya. Aku menutup mata, mendengarkan suara pesawat tinggal landas di kejauhan dan memanjatkan doa kepada Tuhan untuknya. Sahabatku terbang ke negara lain, sahabatku terbang menggapai mimpinya. Dan aku adalah sahabat yang paling bangga di dunia.

*) For Seramika Ariwahjoedi, you will be just fine because you’re that great, and maybe you’ll meet Hawking there. And yes, I promise you that I’ll read Contact :)

2 comments:

putri setiani said...

Pupuut, tulisannya makin cihuy deh :D

"berapa orang yang berani menjadikan theoritical physics sebagai pilihan hidupnya?"
Setidaknya ada 2 ya, Ridwan sama Sera :P

Buat Sera, semoga sukses ya! :)

Unknown said...

@uti: hehehe... makasih ti, diajar yeuh... diajar si gw teh. eh, cmn 1 ti, Ahmad Ridwan itu material, sera doang yg theoritical... :D