Pojokan itu tidak kosong. Saras menghela nafas kesal di pintu Caffeine for Life, memandang pojok favoritnya yang sekarang diduduki orang lain. Dengan muka agak ditekuk dia mendekati konter, disambut cengiran Komo si barista.
“abis digusur ya mbak?” sapa Komo.
Nama aslinya sebenernya Seto, tapi lebih dikenal dengan sebutan komo karena badan tambunnya. Saras yang memberikan panggilan itu, nostalgia lagu si Komo ciptaan kak Seto.
“dah lama tu orang di situ?” tanya Saras.
“hmmm… sejam-an lah… mau pesen sekarang atau nunggu tempatnya kosong?” tanya Komo. Semua pegawai Caffeine for Life sudah tahu jadwal rutin Saras. Jam setengah Sembilan malam dia akan muncul di pintu dengan menenteng tas laptopnya dan akan mojok di café mungil itu sampai tengah malam, dengan memesan secangkir latte setiap satu jam.
“bentar lagi pergi kali ya… nungguin deh, nebeng di situ ya?” pertanyaan retoris, karena tanpa menunggu jawaban Saras sudah memutar memasuki konter dan duduk di kursi di belakang kasir.
“jangan maen comot ya mbak, ketauan mbak lita bisa kena jitak gw entar…” balas Komo.
“yaelah… kalopun gw nyomot pasti gw bayar kok… sejak kapan gw ngutang disini????” balas Saras, Komo hanya terkekeh.
Saras pun menunggu di balik konter, menghabiskan waktu dengan chatting lewat blackberrynya dan sesekali mengecek apakah pojokannya sudah kosong. Tetapi orang yang duduk disana rupanya menangkap perasaan nyaman yang sama yang ditangkap Saras saat duduk disana, membuat siapa saja malas cepat beranjak dari sana, dan ini tentu saja tidak terlalu disukai Saras.
Jam setengah 10 malam, lewat satu jam, dan Saras masih menunggu di konter.
“ihhh… usir aja tu orang deh mo!!!” Saras berkata kesal.
“mana bisa kayak gitu mbak… sabar deh… bentar lagi cabut, dia biasa cabut jam sembilanan kok” jawab Komo.
“udah setengah 10!” balas Saras ketus.
“yaudah bentar lagi…” jawab komo.
“emang tu orang sering kesini?” Saras mengerutkan kening, mencuri pandang untuk melihat wajah orang itu dan mengingat apa dia pernah melihatnya.
“sering mbak, itu mas Rako, dia kerja di gedung sebelah, dia suka nongkrong disini dari makan malem sebelum balik ke kantornya lagi jam sembilanan… masa gak pernah liat?” tanya Komo.
“kagak, lagian gw kesini bukan buat merhatiin orang kan?!?!” Saras membalas sinis. Rasa kesalnya sepertinya sudah sampai ke ubun-ubun.
“bentar ya… sabar deh… atau ambil meja di sebelahnya aja dulu mbak, entar kalo dia dah cabut langsung pindah” usul Komo.
“laptop gw butuh kehubung listrik mo… baterenya dah jebol, musti deket stop kontak” jawab Saras.
“nyampe kok, cobain deh, kalo kagak gw pinjemin extension kabel entar” lanjut Komo.
Saras menimbang-nimbang sambil melirik pojokan yang ditunggunya kemudian melirik jam tangannya. Dia tahu sepenting apa dia menyelesaikan artikelnya malam ini, editornya sudah menerornya dari minggu lalu dan dia terus menghindar, tapi besok adalah deadline yang dia janjikan pada editornya, dan dia sendiri malas kalau harus menjilat ludah yang sudah dibuangnya, terlebih kalau harus menelannya ulang, sangat menjijikan.
“yaudah deh mo… di sebelahnya aja…” Saras menyerah.
Dia bangkit dan menuju ke meja di sebelah pojokan langganannya. Saat mempersiapkan laptop ternyata kabel charger tak cukup panjang untuk menjangkau stop kontak yang tepat berada di bawah kursi yang diduduki orang di pojok itu. Saras menghela nafas kesal dan siap memanggil Rako.
“duduk disini aja” sebuah suara mengagetkannya. Saras berbalik, pria yang duduk di pojokan itu yang memanggil.
“maaf?” tanya Saras.
“kabel kamu gak sampai kan? Udah duduk disini saja” pria itu menunjuk kursi di depannya.
“errr… tapi…” belum kalimat keluar dari mulutnya Pria itu memotongnya.
“saya cuman butuh duduk disini, saya gak akan ganggu kamu” kata pria itu lagi.
Saras memandangnya menimbang, mencoba menebak apa maksudnya. Dia sebenarnya dapat dengan mudah menolak kemudian memanggil Komo dengan extension kabelnya, tapi tawaran duduk di pojokan itu menggoda, terlebih kursi yang ditawarkan memang kursi yang sering dia duduki.
“saya… mau kerja lho… jadi mungkin gak bisa diajak ngobrol” balas Saras. Pria itu tersenyum lagi.
“dan seperti yang tadi saya bilang, saya hanya butuh duduk disini” balasnya. “duduk aja, sebelum tawaran saya ilang…” lanjutnya.
Saras memutuskan untuk duduk disana. Toh dia merasa bisa mengacuhkan pria itu. Beberaoa menit lewat dan dia kemudian mendapati bahwa dirinya salah, pria itu ada bukan untuk diacuhkan.
Seperti janjinya pada Saras, pria itu tak mengajaknya bicara, bahkan tidak bersuara sama sekali. Dia hanya duduk di seberang meja, memandang keluar jendela, seperti melamun. Di lain pihak tanpa sadar Saras selalu mencuri lihat ke arahnya, entah untuk melihat wajahnya, kemeja yang dipakainya sampai ke jari-jemarinya yang bersih tanpa cincin. Sebagian kecil hatinya bersorak melihat jemari bersih itu.
Pria itu tampan, jelas, hanya dia tipe tampan yang memang tak akan bisa dikategorikan untuk hal lain selain ‘tampan’. Bukan ‘tampan karena putih’, bukan ‘tampan karena bule’, bukan ‘tampan karena gayanya keren’, dia hanya… tampan, lumrah selumrah air yang mengalir ke permukaan yang lebih rendah.
Kulitnya tak terlalu putih, kecokelatan dan bulu yang agak banyak, posturnya agak kurus walau tak sampai kerempeng, sedikit terekspos dengan kemeja longgar yang dikenakannya, rambutnya dipotong pendek standar dengan beberapa helai yang mencuat sembarangan, tebakan Saras teman duduknya itu jarang menyisir, dan kemudian matanya… ini yang aneh, matanya agak biru? Atau mungkin hijau?
“maaf kalau saya ingkar janji dengan gajak kamu bicara, tapi sungguh saya penasaran kenapa kamu ngeliatan saya sampai kayak gitu?” tanya pria itu sambil nyengir.
Saras butuh beberapa detik untuk mencernanya sampai dia sadar bahwa sedari tadi dia menatap lurus-lurus ke wajahnya dan bahkan sudah tertangkap oleh sang empunya tanpa dia sadari, sungguh memalukan. Dia menundukkan wajahnya berusaha kembali menatap layar komputernya.
“gak ada apa-apa…” balas Saras agak terbata, dia merasa malu luarbiasa. Tertangkap memperhatikan wajah orang sama memalukannya dengan tak sengaja telanjang di muka umum, itu akan terekam di ingatan orang-orang lama sekali, minimal orang yang diperhatikannya.
“hmmm… gak berhasil, saya sudah penasaran… apa yang membuat kamu tertarik?” tanya pria itu lagi.
Saras merasa wajahnya semakin memanas saking malunya, beberapa detik lagi mungkin dia akan kabur saking malunya, dan bersembunyi sampai dia mendapat kepastian orang ini tidak muncul di Caffeine for Life lagi. Mungkin dia perlu mencari pekerjaan baru untuk sementara agar dia tak ketergantungan untuk nongkrong di café itu dalam mencari ide.
“hijau…” kata Pria itu tiba-tiba. Saras mengangkat wajahnya, bingung.
“maaf?” katanya pelan.
“mata saya, ada sedikit hijau disana, itu kan yang kamu perhatikan tadi?!” balasnya ringan.
Saras diam, perasaan malunya masih tersisa, tapi ketertarikannya bertambah.
“memang segitu ketauannya ya?” tanya Saras lagi.
“kalau kamu sampai gak sadar saya ngeliatin kamu balik ya berarti memang kamu lagi merhatiin mata saya, sebagai objek, bukan?” jawabnya santai sambil tersenyum. Pria itu agak maju dan menyilangkan tangannya di atas meja.
“sekarang kamu mau tanya apa lagi? Mungkin saya mau jawab…” balas pria itu.
“kenapa bisa?” tanya Saras tanpa berpikir.
“apa yang kenapa bisa?”
“mata kamu… hijau?... hmmm… kamu gak keliatan bule… tapi mata kamu keliatan natural, bukan contacts kan?” tanya Saras lagi. Pria itu terkekeh.
“bukan, ini asli… hmmm… ibu saya orang bali… dimana kulit gelapnya menurun ke saya, ayah saya campuran padang-turki-belanda, dan punya warna mata yang sama dengan saya… dimana hijaunya berasal dari ibunya… nenek saya… orang belanda-turki, terjawab gak?” katanya kemudian. Saras mengerutkan keningnya sebentar sambil mencerna jawaban itu.
“sejak kapan gen manusia bisa dicampur segampang cat tembok?!?!” komentar Saras.
Pria itu terkekeh, dia memandang Saras sambil tersenyum lebar.
“semenjak ada campuran untuk menghasilkan manusia semenarik kamu…” balas Pria itu, dia kemudian mengulurkan tangannya, “Rako” dia memperkenalkan namanya singkat.
Saras memberhatikan tangan itu sebentar sebelum menyalaminya, “Saras” balasnya.
1 comment:
tetep ngerasa suka sama gaya nulis lo put, walopun gue bacanya dari cerita paling akhir. :p *semoga suka nulis gue balik lagi
Post a Comment