Monday, June 18, 2012

Kembali ke pojok : Late Night Gibberish

Seri kembali ke pojok ini adalah lanjutan dari yang ini. Atas permintaan sekenanya dari Gusti Ayu Meliati, akhirnya saya coba bikin sekuel. Pertama kali bikin sekuel.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
picture taken from here
“008?” katanya kemudian sambil nyengir. Saras langsung menarik tangannya cepat dan memandang Rako dengan wajah tertekuk.

Sudah puluhan tahun dari serial superhero lokal konyol dengan brand panggilan telepon international itu tayang di televisi, dan dia -yang dengan menyebalkannya punya nama yang sama- harus merasakan komentar refleks yang sama tiap kali ada orang yang mendengar namanya. Dalam hati dia ingin balas berteriak ‘basi! madingnya udah mau terbit!’, setidaknya AADC baru sepuluh tahun lalu.


Rako terkekeh saat memandang ekspresi wajah Saras.

“terlalu sering ya orang komentar gitu?” tanyanya sambil tersenyum.

“sudah biasa” jawab Saras kemudian, “lagian jadi ketauan kan orangnya dari angkatan mana... anak sekarang taunya Ben 10 bukan Saras 008” lanjutnya.

“ya harusnya dengan sekali liat kamu bisa tau saya bukan dari angkatan yang nonton Ben 10?” balas Rako lagi.

“emangnya angkatan berapa?” tanya saras lagi.

“99, kamu?” tanyanya, dia mengangkat cangkir kopinya. Saras melirik isinya, kopi hitam, ok... orang ini menarik.

“2003” jawab Saras. Sebelah alis Rako naik saat mendengarnya.

“oh, saya pikir kamu lebih tua” jawabnya sambil nyengir tak bersalah.

Saras mengerjap beberapa kali. Ok, orang ini sangat menarik. Dari semua pria yang pernah dia temui, tidak ada yang berani jelas-jelas menyebut seorang wanita lebih tua dari usianya. Alasannya cuman dua, mereka memang gentleman, atau mereka ingin dianggap sebagai gentleman. Tapi orang yang selama sejam terakhir membuatnya kesal menunggu ini tampaknya tidak berada dalam semesta laki-laki yang pernah ditemuinya. Menarik.

Saras menegakkan tubuhnya dan menyilangkan kedua tangan atas meja, dia kembali memperhatikan Rako.

“kenapa? ada yang menarik perhatian kamu lagi?” tanyanya sambil tersenyum. Kali ini dia menyandar di sofa dengan sebelah tangan menopang dagu.

“komo bilang kamu sering kesini, tapi kok saya gak pernah liat ya?” ujar Saras.

“komo?” dia mengerutkan keningnya bingung.

“itu barista... seto... saya manggil dia komo” balas saras.

Rako kembali terkekeh, “seto dan komo... kamu semakin memperjelas generasi darimana kamu berasal” katanya. Dia kemudian memandang balik Saras.

“you never saw me because you never put enough attention right? as far as I remember, you just sit on that armchair and never look around” jawabnya dalam bahasa Inggris yang fasih.

Saras hanya mengangguk sekenanya. Dia benar. Lagipula dia datang ke Caffeine for Life untuk bekerja, bukan untuk sekedar nongkrong. Saras kembali memikirkan teman duduknya ini, tentu saja bahasa Inggrisnya lancar, entah bagian sebelah mana keluarganya adalah orang asing, dia tentu harus bisa bahasa Inggris, bahkan Saras berani bertaruh bahwa dia bisa bahasa Belanda.

“Saya datang kesini untuk kerja kok, jadi gak perlu terlalu merhatiin sekeliling” balas Saras.

“kerja? boleh tahu apa pekerjaan kamu?” tanya Rako kemudian.

“saya penulis” jawab Saras singkat.

“journalist or books?” tanyanya lagi.

“dua-duanya, walau memang rutinnya menulis kolom di koran” jawab Saras.

“kolom? mengenai apa?” tanya Rako lagi.

“traditional culture... mostly soal kegiatan terkait budaya traditional yang sedang dilaksanakan, terkadang mengenai buku atau satu isu khusus, tergantung permintaan editor” jawab Saras lagi.

“hmmm... “ Rako hanya mengangguk, pandangannya tampak sedikit menerawang.

“kenapa? ada yang aneh?” tanya Saras.

“tidak, saya hanya berusaha membayangkan, tak ada jam kerja, dan membahas bidang yang sudah pasti menarik... konsep yang cukup aneh untuk saya” jawabnya sambil tersennyum.

“memang pekerjaan kamu apa?” tanya Saras. Rako diam sebentar, dia memperhatikan Saras lekat-lekat. Saras menangkap ada sedikit misteri disana.

“kalau saya tidak mau menjawab bagaimana?” Rako balas bertanya. Sebelah alis Saras terangkat.

“setelah kamu bertanya hal yang sama pada saya? oh Tuan, Anda jelas punya standar ganda” balas Saras. Rako tertegun memandang Saras sebentar, sebelum kemudian tersenyum lebar.

“dan itu hal yang buruk karena?” tanyanya kemudian. Sekali lagi alis Saras terangkat. Orang yang tidak merasa tersindir karena dianggap mempunyai standar ganda kemungkinannya sedikit, dan jelas tidak umum.

“tidakkah Anda pikir itu merusak kredibilitas Anda di depan orang lain?” tanpa sadar Saras berbicara formal padanya. Rako masih tersenyum, tapi kali ini ada sedikit petunjuk keisengan di matanya.

“dan Nona, kenapa Anda pikir saya harus menjaga kredibilitas saya di hadapan Anda?” tanyanya balik.

“saya pikir kita sedang berbicara dalam konteks umum, bukan hanya antara Anda dan Saya” jawab Saras.

“begitukah? saya pikir kita sedang bicara dalam konteks kita berdua” balas Rako santai.

“standar ganda itu kan tentang inconsistency, tentunya bukan hanya konteks dua orang saja, tapi lebih ke audience yang lebih luas, masyarakat” jawab Saras.

“tapi selama tidak merugikan orang lain kan tidak apa-apa, lagipula ini soal kredibilitas saya” balas Rako.

“itu artinya Anda bertindak tidak adil kepada lingkungan, jika Anda ingin diperlakukan setimpal dengan orang lain, Anda harus memberikan yang setimpal juga. Perkataan sesuai dengan perbuatan” balas Saras lagi.

“kamu sedang membicarakan integritas atau standar ganda?” tanya Rako, kali ini dia terlihat seperti berusaha menahan senyum.

“saya kira kita sedang membicarakan kredibilitas Anda” balas Saras keras kepala.

“seingat saya kamu tadi bertanya pekerjaan saya apa?” balas Rako.

“ya memang itu pertanyaan saya, lalu kenapa Anda mempersulit untuk menjawabnya?” kening Saras kembali berkerut. Dia merasa ada yang aneh dengan pembicaraan mereka ini.

Rako kembali nyengir. “baiklah, kita kembali ke pertanyaan kamu, pekerjaan saya? saya seorang konsultan” jawabnya.

Kening Saras kembali berkerut, “tidak ada yang aneh dengan pekerjaan konsultan” katanya.

“memang tidak” jawab Rako santai.

“lalu kenapa Anda tidak mau menjawabnya tadi?” tanya Saras lagi.

“siapa yang bilang tidak mau jawab, saya kan cuman tanya ‘kalau misalnya saya tidak mau jawab’ “ balasnya.

Kening Saras kembali berkerut. Kenapa dia merasa bingung begini. Dia mengingat balik percakapan singkatnya tadi dan dia merasa semakin bingung, apa yang sebenarnya mereka bicarakan dari tadi?

“dari tadi sebenernya kita lagi bahas apa sih?” celetuknya kemudian.

Rako kemudian meledak tertawa. Dia terkekeh keras dan menggeleng-geleng.

“sebenarnya itu yang saya pikirkan dari tadi, tapi ekspresi kamu lucu, jadi ya saya biarkan... cukup lah untuk hiburan” katanya kemudian di tengah tawanya.

Kali ini wajah saras kembali memanas. Sekali lagi Saras merasa malu, tapi kali ini dia lebih merasa bodoh. Dia dan kepala sok pintarnya, kenapa sih dia harus selalu memikirkan hal kecil di konteks yang rumit? Dia menggeleng sendiri.

“maaf, pola pikir saya kadang... ribet” jawab Saras kemudian. “setidaknya kamu dapat hiburan” tambahnya kemudian.

Tawa Rako kemudian mereda, tapi dia masih tersenyum lebar.

“ya, hiburan yang menyenangkan... dan saya suka waktu kamu memanggil saya tuan” balasnya sambil mengedipkan sebelah mata. Saras terpaku, tidak tahu harus bereaksi apa.

‘Oh God, screw me and my blabber mouth!’ pikirnya.

Kemudian Rako melirik arloji nya dan tersenyum.

“saya harus kembali lagi ke kantor, terimakasih untuk stand-up comedy singkatnya...” katanya sambil berdiri.

“oh, saya senang bisa menghibur” balas Saras sarkas. Rako hanya tersenyum.

“sampai ketemu lagi Saraswati” balas Rako kemudian. Saras memandangnya kaget.

“tau dari mana?” tanyanya kemudian.

“tau apa?” tanya Rako.

“nama saya Saraswati?” balas Saras. Rako memandangnya sebentar dan anehnya dia pun tampak heran. Kemudian dia hanya tersenyum sambil mengangkat bahu.

“refleks...” balasnya. Dia lalu melambai singkat dan berjalan ke arah pintu.

Saras masih memandangnya sampai dia berjalan menjauhi pelataran Caffeine for Life, menuju ke arah gedung kantor di sebelah. Dia melirik jam di laptopnya, sudah jam setengah 11 malam, dia baru saja bertemu dengan pria menarik yang membuatnya jadi bahan hiburan nyaris selevel dengan topeng monyet, dan artikelnya belum selesai.

Dia hanya menghela nafas, ‘so much for late night gibberish’, dan dia pun mulai mengetik outline artikelnya.

3 comments:

Ayu said...

Asiiik dilanjutin...ayo lanjutkan lagi Puuuut :D :D
Ditunggu looh hehehe...

the dovenia said...

waaa..seru... macam novel2 kawakan.. ditungu lanjutannya...

the dovenia said...

bagus...dan seruu... macam novel kawakan... :D

ditungguuuu lanjutannya yaaa...