Monday, November 3, 2008

Setelah nonton Laskar Pelangi (lagi!)

Mamah saya udah ribut pengen nonton Laskar Pelangi dari setelah lebaran, dan saya selalu nolak nganter dengan beberapa alasan. Akhirnya setelah sekarang saya memasuki fase menganggur, mamah saya melihat bahwa saya gak punya alasan lagi buat gak nganter dia nonton. Jadilah saya pergi nonton film ini lagi bareng Mamah ama Intan.

Seperti yang sudah saya perkirakan sebelumnya, Mamah saya nangis saat nonton dan Intan sama sekali gak ngerti jalan ceritanya. Saya tetap gak nangis, walau kali ini saya jadi banyak memikirkan detil dari film ini. Film ini memang sepertinya sangat berusaha menyindir kebijakan pendidikan pemerintah Indonesia, dipertegas dengan munculnya pasal 31 ayat 1 di penutupan film.

Kemudian ada satu adegan yang menyita perhatian saya lebih daripada saat saya nonton filmnya pertama kali, saat Lintang dewasa menunjukkan putrinya pada Ikal dewasa. Waktu saya mengetahui nasib Lintang saat baca bukunya, saya beranggapan bahwa ada saatnya kita harus menerima bahwa takdir itu tak adil. Ada seorang dengan potensi luarbiasa, tetapi bahkan dia tak punya kesempatan, sekedar kesempatan untuk terus maju. Tetapi setelah saya melihat adegan itu saya kembali berpikir, tidak takdir bukannya tak adil, dia hanya senang untuk menguji, untuk melihat kualitas manusia.

Selama ini kita mungkin melihat mimpi dan tujuan kita itu pada satu bentuk yang sangat spesifik, sehingga saat itu tak tercapai kita merasa kita sudah gagal. Tapi kasus Lintang tak begitu. Sekolah bukanlah cita-citanya, sekolah adalah jalannya untuk mencapai cita-citanya, yaitu jadi manusia yang lebih baik. Sehingga saat dia harus menerima kenyataan pahit bahwa dia tak bisa sekolah lagi, bukan berarti mimpinya gagal, bukan berarti cita-citanya tak bisa diraih. Dia hanya dihadapkan pada satu ujian dengan satu pertanyaan sederhana,

kamu pintar, tapi kalau kamu gak sekolah masih pintar gak? masih bisa maju gak?


Dan dia membuktikan dia bisa, dengan menyambungkan mimpinya itu pada anaknya. Mimpi dan cita-citanya tetap hidup, tetapi dalam bentuk yang berbeda. Dalam bentuk yang lebih luarbiasa.

3 comments:

Anonymous said...

Setuju banget sama renungan kamu itu. Kisah Lintang itu mirip banget dengan kisah ayah dan ibu saya, anak2 brilyan, ayah ranking satu abadi yg putus sekolah di SMP. Ibu selalu ranking 2 atau 3, tapi putus di SD bahkan menebus ijazahpun tak ada uang. Keduanya berakhir tragis menjadi buruh pabrik bergaji rendah.

Kedua orangtua saya tak pernah patah semangat, mimpi2 mereka itu disalurkan lewat saya dan adik2 saya. Alhamdulillah kami semua diterima di universitas2 negeri terbaik dan dapat beasiswa. Bukannya sombong, saya alhamdulillah seperti Ikal yg beruntung dapat beasiswa S-2 ke luar negeri. Di lembar ucapan terima kasih di thesis S-2, saya sebutkan bahwa thesis ini saya persembahkan untuk kedua orangtua saya. Orang2 cerdas yang sempat terpupuskan mimpinya. Setelah populernya Laskar Pelangi ini, saya bisa dengan bangga mengatakan, saya punya dua Lintang di rumah saya, dua Lintang yg menyinari hidup dan semangat saya dan adik2 saya.

Anonymous said...

mungkin aga ga nyambung tapi sambungin ajah laya. Tadi saat makan siang di kantor saya mengobrol dengan beberapa rekan AsMen,begini dialognya,
Asmen Qc : di Jogja itu tenang ya, tapi lapangan kerjanya sedikit
asmen Eng : gini aja, kmu jadi Asmen disini beberapa tahun lalu balik ke jogja ngelamar jadi Manager disana. Pasti dapet tuh
Gw : loh ko ngajarin jadi oportunis ?
Asmen Eng : loh kan loyalitas otu pada pendidikan kmu. Jangan sama company donk

nah pada saat itu gw mikir. Man! kejam sekali dunia, dimana banyak orang pintar yg berubah kejam karena adanya uang.

Lain lg dengan teman gw yang hampir 6 bulan menganggur. Dia berubah menjadi lemot dan pasrah.

Dunia itu kejam put, pilihan lo untuk mandang dunia seperti apa dan menarik tindakan dari pemikiran itu. Semua ada konsekuensinya. Cuman lo yg tau apa yg terbaik buat lo.

Satu pesan gw. Jangan terlalu banyak berpikir. kadang spontanitas justru membuka jalan yg merubah hidup kita menjadi lebih cerah :p Smangath ya

Unknown said...

@ indie : yap, saya ngerti, ayah saya juga berada dalam kondisi kayak gitu. Awalnya saya kesel lho kalo dia udah mulai 'keras' soal urusan sekolah saya, awalnya saya nganggap itu sebagai ajang balas dendam dia aja ama kehidupan sekolahnya dulu. Tapi setelah saya pikir kembali, dia hanya mengharapkan yang terbaik buat saya. Hehehe... kita memang harus selalu bersyukur punya orang tua yang luarbiasa.

@ anonymous : 'jangan kebanyakan mikir', kalimat itu sering banget saya dapet dari temen2 saya, mereka bilang saya jadi lebih tua dari umur saya gara2 kebanyakan mikir. Saya pribadi memang kadang ngerasa keganggu, lagi belajar buat menempatkan spontanitas saya di jalan yang benar... selama ini kalo saya bergerak dengan spontanitas jadinya malah lebih hancur... hahaha... makasih banyak ya...