Sunday, November 2, 2008

Sendiri

Gadis itu telah dua kali melewati rak yang sama. Memiringkan kepalanya agar bisa membaca jelas tiap judul buku yang terpampang, sesekali menegakkan lehernya kemudian kembali menyapu setiap baris buku yang berjejer disana. Entah apa yang dia cari, bahkan mungkin dia pun tak terlalu yakin apa yang dia cari. Ketika akhirnya dia sampai pada buku terakhir di rak itu untuk kedua kalinya, dia menghela nafas panjang.

Gak suka nih! Batinnya.

Kemudian dia melirik satu rak yang agak lebih kecil di sisi lain ruangan. Kartu bertuliskan Classic Literature tertempel di puncak rak itu. Dia mengangkat sebelah alisnya tak yakin, tapi akhirnya dia mendekati rak itu. Sekilas dia sapu judul-judul yang tertempel disana,

Oke, bahkan judul-judulnya pun gak pernah gw denger.

Kemudian dia menangkap satu kata...bukan, satu frasa lebih tepatnya, dan entah mengapa dia merasa familiar dengannya. Dia berhenti dan memandangnya agak lama, kemudian dia mengambil buku itu dari rak, menimangnya sebentar tanpa ada keinginan bahkan untuk membaca resume di sampulnya.

hmmm...

Pikirannya agak kosong, entah kenapa timbul keinginan untuk membeli buku itu. Kenapa? dia pun tak terlalu tau, seingatnya dia pernah membaca judul ini di suatu tempat, tapi dia tak terlalu ingat.

Rrrrrrr.... Dia merasakan sesuatu bergetar di saku jeansnya, dia mengambil handphonenya disana dan menemukan nama sahabatnya terpampang di layar, dia menekan tombol hijau dan menempelkan handphone itu di telinganya.

Halo? Dia berbicara, sambil duduk di kursi terdekat.

Hoi!!! Pa kabar??? Terdengar suara riang sahabatnya itu dari speaker handphonenya.

Buruk, ada apa?

Ciee bu, galak amat! lagi dimana?

Toko buku.

Waw... udah gak menemukan yang lucu lagi di taman bacaan? ampe niatin diri buat beli buku?

kira-kiranya begitu. Gadis itu berusaha membuat jawabannya singkat, dia sedang malas berbicara dengan siapapun, termasuk dengan sahabatnya itu.

Nemu yang bagus? tanyanya.

hmmm... mungkin.

mungkin? suara sahabatnya itu terdengar bingung.

ada yang gw pikir bakal gw beli, tapi gw gak tau itu bagus atau enggak. Jawab gadis itu ringan.

terus ngapain lu beli?

gak tau, tiba-tiba kepengen. Dia membayangkan di seberang telepon sana sahabatnya pasti memutar bola matanya tak sabar, reaksi langganannya kalau dia merasa ada yang tak wajar terjadi.

terserah deh, apa judulnya?

wuthering heghts.

hening sebentar... Bronte? Kata sahabatnya itu tiba-tiba.

Apa?

pengarangnya... Emily Bronte?

Gadis itu melirik lagi sampul bukunya dan menemukan nama pengarangnya.

iya.

Hening sebentar... kemudian terdengar suara khawatir sahabatnya, lebih tepatnya dibuat-buat seperti khawatir: sayang, gw ingetin ya... terakhir kali lu baca klasik itu Oliver Twist dan lu gak pernah mencapai halaman 7, jadi pliss deh... cari aja yang lain.

Kali ini gadis itu yang memutar bola matanya. Terserah gw mau beli buku apa. Balasnya galak.

Oke, tapi gw cuman ngingetin, daripada lu buang-buang duit kan?!?!

Gadis itu kembali menimang buku di tangannya, menimbang-nimbang.

Lu tau gak ceritanya soal apa? Dia bertanya pada sahabatnya.

Sayang... Sahabatnya itu memulai, Perlu gw ingetin lu kalo satu-satunya novel yang gw baca itu Harry Potter.

Gadis itu kembali memutar bola matanya. Dan cuman satu seri. Dia menambahkan.

Tepat, gak ada enaknya baca ratusan halaman yang isinya cuman tulisan.

Gadis itu membalas malas: Dan yang gw tau lu cuman mau repot-repot baca sesuatu, kalo itu adalah bagian artikel di vogue.

Betul! Balas sahabatnya riang.

Gadis itu menghela nafas panjang. Ya sudah deh.

Emang lu tau judul tu buku dari mana?

Gadis itu berpikir sejenak, kemudian dia melihat pita merah terangkai rapi di salah satu kotak hadiah di pojok ruangan, dia ingat sesuatu.

Eclipse. Jawabnya.

Hah?

Eclipse, novelnya Stephenie Meyer yang kemaren-kemaren gw baca, disana disebutin soal wuthering heights.

oke... terserah deh. eh... kapan ke sini? lu bedua kan udah lama gak jalan bareng kita...

bedua? siapa nih maksudnya?

lu tau siapa yang gw maksud. Jawab sahabatnya tak sabar.

oh, gw putus ama dia. Jawab gadis itu dingin.

Hening sesaat... sori?

gw putus ama dia. gadis itu mengulangi dengan nada yang sama.

APA?!?! PUTUS? LU BECANDA YA??? APAAN NIH??? tiba-tba teriakan sahabatnya menyambar ke telinganya, dia harus menjauhkan handphone dari telinganya agar teriakan sahabatnya tak membuatnya berakhit tuli.

iya, dan gak usah segitu heboh knapa?! balasnya.

HEBOH?!?! OH TUHAN... Tuhanku yang Mahaagung, engkau tahu setengah hidupku yang berharga aku habiskan agar sahabatku yang BEBAL dan GAK SADAR DIRI ini bisa dapet cowok baik yang luarbiasa, tapi SEKARANG! saat semuanya nyaris sempurna, dia bilang ama gw kalo dia PUTUS, MAU LU APA SIH???

setengah hidup? hmmm... cara yang baik bwat ngabisin setengah hidup lu, sekarang gw ngerti kenapa nyokap lu stress mikirin elu. balas gadis itu dingin.

shut up! we're talking about you right now, what it is??? if you trying to play some nasty joke toward me, trust me... you'll regret it!

i'm not joking, and i won't regret anything.

but sweety... sahabatnya itu terdengar sangat frustasi, seolah baru mendengar kabar tentang temannya yang berniat bunuh diri.

hey... gw... Gadis itu berhenti sejenak dan berfikir cepat, memikirkan kata yang tepat untuk berbicara pada sahabatnya itu.

gw tau mungkin lu kecewa, walau gw gak ngerti alasan lu buat kecewa, TAPI... dia sedikit menekan saat didengarnya tanda-tanda sahabatnya akan memotong.

ini udah keputusan gw, jadi sudahlah, gak usah banyak komentar.

keputusan lu? dia gimana? Tanyanya.

Gadis itu menelan ludah, dan menggigit bibirnya seperti berusaha menghilangkan satu ingatan dari kepalanya.

dia keberatan, jelas dia keberatan, tapi buat gw, ini yang harus gw lakukan. Jawab gadis itu.

kenapa? Nada suara sahabatnya itu menggangtung, seperti dia baru saja menahan diri untuk tidak memperpanjang pertanyaannya menjadi 'kenapa lu harus ngambil keputusan bego macam mutusin cowok yang udah luarbiasa cinta ama lu'.

karena... karena gw akan tetap menjadi gw, dan dia... akan selalu jadi dia. Gadis itu mungkin ingin mengatakan hal yang lebih panjang, sesuatu yang mungkin lebih menjelaskan, tetapi dia tak tau bagaimana menuangkannya dengan jelas.

gw gak ngerti. balas sahabatnya.

lu gak harus ngerti.

Hening sekali di ujung sana. Gadis itu tahu sahabatnya pasti menahan diri agar tidak berteriak, menahan diri untuk tidak marah, menahan diri untuk tidak membuat dirinya berpikir lebih... pintar. Tapi dia tau betul bahwa tidak ada yang lebih mengenal dirinya selain sahabatnya itu, dan dia yakin sahabatnya itu tak akan melakukan hal sia-sia macam berteriak-teriak dan marah-marah ketika dia sudah membuat keputusan.

apa yang bisa gw lakukan? tanyanya akhirnya.

doain gw. gadis itu menjawab singkat.

baiklah, walau gw tetap merasa lu bodoh setengah mati! jawabnya akhirnya.

Gadis itu terkekeh ringan. Gw udah terlalu sering lu bilang bodoh.

Tapi kali ini gw serius bilang lu bodoh! Timpal sahabatnya lagi.

Gadis itu diam sejenak, kemudian berkatan, Dan kali ini gw pun merasa gw bodoh... dan cuman itu yang bisa gw bilang.

Sahabatnya kembali terdiam.

Udah ya, gw mau ke kasir dulu. Itu hanya alasan, agar dia dapat segera menghentikan percakapan ini.

yaudah, sampai nanti. Sahabatnya akhirnya menjawab.

makasih ya. Gadis itu berbisik pelan.

banyak hal yang bikin lu harus makasih ama gw! balas sahabatnya.

ya, gw tau... bye... dan gadis itu menekan tombol merah di handphonenya, kemudian mengembalikan handphone itu ke sakunya.

***

Kamarnya masih berpenerangan minimal saat akhirnya gadis itu kembali duduk di meja kerjanya. Hanya sebuah lampu baca kecil yang menyala, dia menyukainya seperti itu. Gadis itu membuka bungkusan belanjaannya dan mengeluarkan buku yang tadi dibelinya. Dia masih belum membaca satu kata pun di buku itu selain judul dan nama pengarangnya. Dia membuka halaman pertama buku itu dan mulai membacanya. Belum sampai satu halaman selesai dibacanya, dia berhenti membaca. Bukan karena bosan, bukan karena dia tak mengerti, tapi karena saat ini matanya tak dapat diapakai membaca. Bulir-bulir besar air mata, jatuh melewati pipi terus ke atas lembaran cokelat halaman buku itu, meninggalkan bercak-bercak besar di atasnya. Mungkin untuk itulah dia membeli buku itu, untuk menampung air matanya, karena sekarang dia kembali tau... dia sendirian.

1 comment:

Anonymous said...

SEMANGAT!!!