Tuesday, September 27, 2011

Kembali ke pojok : I'm not that girl


Aku memanggilnya Kakak, putri satu-satunya dari adik ibuku. Umur kami berdua dekat, hanya berbeda 2 tahun. Tapi kami tak dekat, karena sejak kecil kami dibesarkan di kota yang berbeda. Ibuku sering sekali bercerita tentang dia, tidak membuatku tambah menyukainya, malah sebaliknya aku sangat tidak menyukainya, karena dia selalu terdengar sempurna. Ketahuilah, tak ada hal yang lebih menyakitkan dari mendengar ibumu sendiri menyanjung-nyanjung gadis lain seolah dia berharap gadis itu putrinya, memuakkan.


Hanya 2 hal yang kuketahui sebagai persamaan kami : perempuan dan anak tunggal, selain itu aku merasa sangat berbeda darinya. Dia cantik, atau jika banyak yang mengatakan cantik itu relatif maka aku akan mengatakan dia menarik secara fisik berdasarkan standar umum : kulit putih, rambut panjang, tinggi, langsing, dan itu semua didukung oleh gayanya yang feminim. Aku, boleh dibilang hampir kebalikannya.Aku tak tahu apakah dari sananya kami sudah sangat berbeda, atau dari kenyataan bahwa selama ini kami selalu bersaing -lebih tepatnya aku ingin selalu bisa mengalahkannya. Selalu.

Kalau kakak menang satu perlombaan, aku akan berusaha untuk menang dua. Kalau Kakak juara kelas, aku akan juara angkatan. Kalau Kakak murid teladan kota, aku akan murid teladan provinsi. Kalo Kakak masuk ke jurusan favorit di universitas terbaik, aku masuk jurusan terbaik di universitas terbaik. Kalo Kakak lulus sebagai sarjana terbaik, aku lulus sarjana dan master terbaik. Aku akan melakukan apapun lebih baik dari dia! Itu terus berlanjut, bahkan sampai saat ini. Hanya, kali ini ada yang berbeda, sesuatu yang membuatku sangat kesal.



Hari ini hari minggu, dan aku menyetir mobilku lambat kembali ke Jakarta, aku baru pulang dari mengunjungi rumahnya di Bogor. Memberi salam, disuruh ibu, karena dia menikah ketika aku berada di London untuk pendidikan masterku dan menurut ibu aku harus memberi salam padanya... whatever! Aku pikir aku hanya akan mampir sebentar, memberi salam seadanya, menengok anaknya yang baru lahir 2 bulan yang lalu kemudian pergi, tak ada yang istimewa, bahkan aku tak merepotkan diri  membeli kado bayi. Aku tak menganggap kedatangan ini sebagai sesuatu yang istimewa. Dan memang tak ada yang istimewa darinya sekarang, sampai ke satu titik itu benar-benar menggangguku. Aku menyetir pelan, setengah berpikir, ada rasa kesal yang sedari tadi bercokol di hatiku, semenjak aku keluar dari halaman rumahnya dan aku tak tahu harus bagaimana mengeluarkannya. Akhirnya aku menyerah dan menepikan mobilku, menelepon satu-satunya orang yang aku tahu akan mau mendengarkanku.

"oi, lagi dimana?" tanyaku begitu dia mengangkat teleponnya setelah nada panggil agak lama.
"hehhh... apaan sih nelpon hari mingu pagi2? ganggu tidur gw aja!" suara seraknya membalas lambat, sepertinya dia baru bangun tidur. Aku melirik jam di dashboard mobilku dan sebelah alisku naik.
"pagi? ini jam 2 siang dodol! lu belum bangun dari pagi?" tanyaku mengernyit, dasar orang aneh.
"ini minggu kampret! jam 2 itu masih pagi... apaan sih? klo gak ada yang penting gw tutup!" balasnya.
"dimana? gw pengen ngobrol" tanyaku lagi.
"di apartemen, yaudah sini aja... bawa makanan, gw laper!" balasnya, aku memutar bola mataku malas.
"iya, yaudah gw kesana" aku langsung menutup telepon. Tak ada yang lebih menjijikan dari laki-laki single pemalas di hari minggu, aku bahkan bisa membayangkan seacak-acakan apa apartemennya.

Aku menghela nafas panjang dan langsung menuju ke tengah kota, aku bisa membeli apapun yang dijual di dekat apartemennya nanti.

Aku setengah bersyukur saat masuk ke apartemennya sejam kemudian, menenteng sekotak pizza, tidak seacak-acakan yang kubayangkan, hanya beberapa piring dan gelas kotor berserakan di meja ruang tengah.

"WOW, siapa yang beres-beres?" tanyaku sambil duduk di sofa.
"kampret, emang lu pikir gw gak bisa beres-beres apa?!" tanyanya malas, dia masih memakai celana pendek dan kaos belel yang dipakainya tidur, rambut dan wajahnya masih -well, berantakan. Aku hanya mengangkat alis sinis, ekspresi lain dari: 'masih berani nanya'!

"brengsek lu, cewek gw kesini semalem, ngomel-ngomel dikit terus beres-beres deh..." katanya kemudian, sambil menghempaskan diri ke sebelahku.
"cewek? yang mana?" merunut pada kenyataan dia tak pernah punya pacar, atau setidaknya tidak ada yang dia akui pacar, hanya cewek, dimana dalam terminologi umum sebenarnya artinya pacar, tapi yah... well, dia memang aneh.
"ya... yang itu deh, lu belum pernah ketemu... udah ah, mau bahas gw atau apaan nih, pake seenaknya ganggu istirahat gw" dia lalu membuka kotak pizza dan melahap potongan paling besar. Aku sedikit mendengus pada kata 'istirahat'.
"gw baru pulang dari rumah Kakak" kataku memulai. Dia langsung melirikku dengan ekspresi cerah.
"woo... THAT cousin of yours? THAT HOT cousin of yours? apa kabar dia?" tanyanya bersemangat, aku langsung melenguh malas, reaksi standar dari lelaki-lelaki yang mengenalnya.
"dah kawin, baru punya anak!" balasku sinis.
"bah... too bad" balasnya sambil melanjutkan melahap pizzanya. "terus kenapa? jadi kepengen kawin ama punya anak juga lu?" lanjutnya dengan nada setengah tertawa,

Aku diam.

Dia berbalik setelah beberapa lama tak ada balasan dariku, memandangku lekat.
"serius lu pengen kawin?" tanyanya kemudian dengan nada kaget, seolah itu adalah hal mustahil, aku jadi kesal untuk alasan baru.
"emang kenapa kalau gw pengen? gak boleh?! gw juga manusia dol" balasku.
"okay, that's new!" balasnya sambil terkekeh. Tapi kemudian dia berhenti dan memandangku lagi. "come on seriously, what's wrong?" tanyanya lagi diantara kunyahannya.
"are you really believe that I don't want to be married ever?" tanyaku sebal.
"well, half of myself believe in that, but I know better that marriage is never be a thing that make you jealous, so skip that, what's wrong? if it really about marriage, I'll go back to sleep" lanjutnya santai sambil mengambil potongan pizza keduanya.

Aku hanya memandangnya sinis, kemudian menoleh memandang setengah melamun ke dinding kosong di depanku. Dia tak punya TV di apartemennya ini, acara TV baik lokal maupun internasional membuatnya kesal. Jadi dia lebih memilih tempat tinggalnya sepi tanpa suara TV. Dia memang aneh.

"gw..." aku memulai lalu berhenti lagi, tak tahu persis bagaimana menggambarkan rasa kesalku saat ini, "entah... I feel... I've been betrayed"
Dia menungguku melanjutkan, tapi ketika aku tetap diam dia bertanya, "by who?"
"kakak lah... kan kita lagi ngomongin dia!" balasku tak sabar.
Dia mengerutkan kening, "oookaaayyy....dia nikah ama pacar lu, atau ternyata sebenarnya Kakak itu pasangan lesbi lu?" tanyanya datar. Aku memukul punggungnya keras.
"bangke, kalo ngasal tuh gak usah kebangetan deh!" bentakku.
"aduuhh! sakit kampret!... eh, becanda kali, touchy! abis ceritanya setengah-setengah gitu, yang beres napa" dia balas membentak.
"makanya dengerin dulu, jangan nyamber!" balasku lagi, dia sudah membuka mulut untuk membalas tapi akhirnya diam setelah melihatku melotot mengancam. Aku melanjutkan, dengan mood yang lebih buruk.
"hari ini... setelah sekian lama gw gak ketemu dia dan gw ketemu dia disana, di rumahnya... newly and happily married, just recently become a mother and surprisingly... being a housewive?!?!" aku memuntahkan kalimat itu dengan nada tak percaya.
Dia mendengarkanku sambil terus mengunyah, dari ekspresi wajahnya dia terlihat sedang berpikir kemana arah pembicaraanku ini akan menuju.
"gw tanya ama lu, kalo tarolah 3 tahun lalu gw bilang Kakak bakal nikah cepet, langsung punya anak, dan jadi ibu rumah tangga apa lu bakal percaya?" tanyaku padanya.

Dia diam sebentar memandangku.

"gw boleh jawab nih?" tanyanya kemudian. Aku sudah nyaris mengangkat tanganku untuk memukulnya, tapi dia menahannya.
"touchy! oke, jawaban gw dari pertanyaan lu : yap, gw percaya, after all, she's always be that kind of girl right?" balasnya santai. Aku memandangnya tak percaya, mulutku terbuka dan menutup, berusaha mengatakan sesuatu tapi tak tahu apa.
"that kind of girl? what do you mean with 'that kind of girl'???" aku mengeja setiap patah kata itu satu persatu.
"Kakak is as ambitious as I am, did I tell you enough about her all these years? what make you think like that?" aku membentaknya lagi, tak terima, sekarang aku merasa dia pun mengkhianatiku.
Dia hanya memandangku sambil mengangkat alisnya.
"really? as ambitious as you are? you must be kidding... Kakak pacaran lho, elu enggak" katanya santai. Aku kembali memukul punggungnya kali ini. "gw pacaran goblok, dan apa hubungannya coba?!" balasku kesal.
"elu? pacaran? yang gw liat itu di kasus lu itu slavery... mana ada cewek yang ngatain pacarnya bego cuman gara-gara dia gak tau Eric Schmidt  itu siapa, kalo gw tu cowok dah kabur gw..." balasnya. Aku hanya memandangnya sinis. Dia menghela nafas, kemudian meletakkan potongan pizzanya yang belum selesai dimakan ke dalam kotak.
"denger ya, kakak itu... " dia berhenti sebentar mengerutkan kening dan kemudian melanjutkan...
"...always be that girl, who finish her education well so that some kind of moron will intimidated to even get close to her and save her from marrying one, get a good job so she can find a man with better job, and prepare to marry at young age with an objective that her husband will be older and mature enough for her... she's always be that girl, who pass all the phases of her life with marriage as the end goal... how can't you see that? I just meet her occasionally, and know her most from your story, and I can judge her better..." katanya lagi dengan nada bicara 'masa gitu aja gak ngerti', aku memandangnya, merasa sebal dan sangat tak setuju dengan setiap hal yang dia ucapkan.

"enggak lah, mana ada dia kayak gitu, liat aja... segimana ngebetnya dia buat jadi nomor satu waktu jaman sekolah, terus segimana selektifnya dia nyari kerjaan dan segimana workaholicnya dia begitu keterima kerja... she's always aim for the best thing available in the world, always want to be the best, I always think of her as someone like that, I know she's someone like that! and I always aim the same for the sake of defeating her, and now... she end up marrying some borjuis-kind of guy and think to stop fighting and settle down, has kids, end, period. WHAT IS THAT? I can't believe it, she left me halfway the fight, it's a betrayal, or is she really think to challenge me to find better mate? What the f**k!what can be more pathetic than that kind of competition?!?!"

Aku merasa mataku panas saat aku memuntahkan semua kekesalanku itu. Aku menatap nanar ke lantai, merasa kesal, marah dan frustasi. Dia hanya diam, aku masih belum mau mengangkat kepalaku untuk melihat ekspresinya. Aku takut, karena jika dia membenarkan apa yang kukatakan tadi, berarti Kakak menantangku untuk satu kompetisi yang aku tahu tak akan bisa kumenangkan. Karena sekuat apapun aku membantahnya, settle down dan membangun keluarga is never be my forte, I even struggling to find a friend and end up with a freak, I'll never win that kind of challenge. Tak berapa lama kemudian aku merasa ada tangan besar yang mendarat ringan di kepalaku. Aku menoleh dan mendapatinya tersenyum lembut sambil membelai kepalaku.

"listen to me girl... have you ever think, that maybe your fight is something more like what Brand Pitt and Edward Norton did in the Fight Club?!" katanya kemudian.
Aku mengerutkan keningku, tentu aku menonton Fight Club, dan disitu Edward Norton berkelahi dengan Brad Pitt yang ternyata adalah... dirinya sendiri.
"maksud lu apa?" tanyaku kemudian. Dia menghela nafas dan tersenyum.

"think about it slowly, yang selalu merasa dibandingkan ama Kakak  itu elu, apa kakak pernah ngerasa hal yang sama? yang selalu berpikir bahwa lu harus lebih baik dan menang dari kakak itu elu, apa kakak atau orang lain, tarolah nyokap lu, juga berpikir gitu? dan mungkin pertanyaan paling dasarnya, apa orang yang bener-bener pengen lu kalahin itu Kakak? atau cuman satu bentuk dari diri lu yang lu cita-citakan dan kemudian lu proyeksikan ama Kakak karena kebetulan, cuman dia yang tersedia... cuman dia yang lu akuin pantes jadi bentuk manusia yang lu cita-citakan?" dia menunduk dan menyejajarkan matanya denganku, "you are beating yourself up girl".

Aku hanya memandangnya, speechless, tapi tentu saja otakku bekerja. Dia jelas salah, dari kecil aku selalu ada di balik bayang-bayang Kakak. Kakak yang menang A, Kakak yang menang B, Kakak yang jadi A, Kakak yang jadi B... semua tentang Kakak!

Dia mengetuk ubun-ubun kepalaku.
"I can hear your brain buzzing" katanya sambil tersenyum. "hey, lu udah seperempat abad sekarang, gak berpikir ya mungkin udah waktunya lu memvisualisasikan cita-cita lu dengan cara yang yah... dewasa"

What? I don't even accept his theory!

"stop that, if you keep contradicting all my theory inside that big brain of yours, then you will keep beating yourself up harder and harder until you bleed to dead. Listen to me and just listen to me, for once just go along with it... inget-inget, dari ingatan lu yang paling awal... apa pernah nyokap lu bilang, in exact word, kalo 'Kakak itu lebih baik dari lu' atau 'Kakak itu luarbiasa'? pernah gak?"

Aku berpikir... well, in exact, no... Ibu bisa dibilang hanya...

"your mother not actually think that Kakak is the best, instead you are the one that think that she think that..."

Ok, aku pelan-pelan berpikir...

"she's just simply give you example, of what kind of achievement you can reach if you try your hardest... lu mungkin gak pernah denger nyokap lu babbling soal lu, tapi percaya ama gw... gw udah... kalo tante udah ngomongin elu gw merasa gw bakal gila begitu dia selesai ngomong, dia bakal nyanjung lu dari ujung ke ujung, seolah lu tuh udah berhasil menaklukan dunia, mendarat di bulan, nemuain teori gravitasi... name it lah... semua hal aneh yang bikin gw gak percaya kalo yang dia omongin itu eli, dan percaya ama gw, dia gak pernah nyebut nama Kakak sekalipun!"

Aku bengong, I never know that. Ibu tak pernah langsung memujiku, but then again, why should she? it would be... well... cheesy, and we both not made for cheesy things.

"rivalry itu gak pernah ada tau... Kakak emang yaa... Kakak, she's always that girl, you just never know it because you never see her as she is... you just saw what you think she is... If you are Edward Norton, she's  never really be Brad Pitt... ya in reality juga mungkin lu sedikit berharap lu secakep dia kali ya..." dia menambahkan sambil nyengir. Aku menyikut dadanya keras.
"awww... bah, ni anak ya!" Dia mendorong kepalaku sebal.
Aku kemudian memjawab, "I never think it that way...but then again... maybe you're right... I just say MAYBE!" Aku menambahkan begitu melihat dia mulai membidangkan dadanya bangga, orang ini tak pernah meninggalkan kesempatan untuk narsis.
"at least you think that maybe I'm right... and you'll realize that I am!" dia nyengir lebar.

Dia kemudian merangkul bahuku,
"dengerin gw... sekarang, you feel betrayed because, yes, finally... you see that Kakak is Kakak! and you are not that girl, and you don't want to be that girl... seperti gw bilang tadi, sekarang lu udah seperempat abad... mungkin dan gw bilang MUNGKIN... " -dia nyengir,
"mulai sekarang lu harus bisa bersikap lebih dewasa, jalanin hidup lu lebih santai... gak ada yang perlu dikalahin kok... lu gak perlu menang apapun lagi... yang penting lu bahagia" katanya sambil tersenyum lebar.

I know that he got the point, but really, looking at his face when he said it is a different thing.
"lu tau, ngedenger cara lu ngomong tadi gw bakal berpikir lu tuh entah penggemar sinetron ramadhan seri manaaaa... gitu... chessy and cheap tau gak!" kataku sambil menoyor keningnya.
"bah, sinetron... tapi apa yang gw omongin bener kan?" katanya lagi sambil nyengir, berusaha membuatku mengakuinya. Aku memandangnya jijik, orang ini memang sangat menyebalkan
"hah... yaudah lah... oke, lu ada benernya" kataku akhirnya. Dia akhirnya terkekeh sambil menepuk-nepuk pundakku.

Kemudian dia melepaskan tangannya, mengambil potongan pizza yang disisakannya tadi dan menyandar santai sambil mulai mengunyah lagi. Aku masih memikirkan setiap perkataan yang dia ucapkan sambil menatap ke dinding kosong di depanku.

"tau gak, kenapa sih lu gak beli TV? dengan gaji manager lu itu lu bisa kali beli LED 100 inch kalo lu mau" kataku sambil melihat dinding kosong di depan.
"bah, TV, apa asiknya... lagian ketimbang beli TV 100 inch buat apartemen kecil begini, mending gw nonton bioskop atau stage play sekalian... jelas-jelas gw niat" jawabnya jijik, yap, dia tak suka TV.
"ngomong-ngomong soal stage play, Wicked tampil di Singapore lho entar Desember" kataku.
"eh, serius? esplanade?" tanyanya mendadak semangat. Aku menggeleng.
"marina bay sands, bisa off kagak? nonton yuk" ajakku.
"ayo banget! gw pernah nonton yang di broadway nya lho... keren mampus!" katanya kemudian.
"blagu!" balasku. Dia nyengir.
"btw, lu tuh mirip Elphaba... tokoh utama Wicked" katanya kemudian sambil nyengir.
"Elphaba? namanya aneh, cowok?" tanyaku,
"bukan, cewek..."dia kemudian nyengir lagi.
"mirip apanya?" tanyaku lagi mulai curiga.
"ya... si Elphaba itu penyihir pinter, ambisius, tapi judes, gak populer, gampang marah dan... kulitnya ijo!" katanya sambil tertawa keras.
Aku mengambil bantal yang ada di sofa dan memukul keras wajah tertawa lebarnya itu. Ya, dia memang sangat aneh dan menyebalkan!

Aku kemudian ingat sesuatu yang penting, mengambil handphoneku, mengetik dan mengirim satu SMS singkat, untuk ibuku...

'aku selalu bangga punya ibu kayak ibu... aku sayang ibu'



3 comments:

poets said...

yes, dear.. the only one you've been fighting for is yourself.. and it's the toughest battle ever in our lives :)

some calls it ego, some stubbornness, and even self-absorbency...

i can only tell you this,
life begins when we stop trying to impress other ;)

ita said...

nice writing u have :)

halo, nyasar kesini dari blog yasmin, tertarik baca karena judul terakhir post kamu 'stay hungry, stay foolish', persis seperti status saya di fb 10 menit yang lalu.. :p

kalo stat blog ini naik, mungkin salah satunya karna saya.. :)

Unknown said...

@ita : salam kenal... terimakasih banyak karena sudah nyasar kemari... sering2 aja ya :)