Pintar, berprestasi, cukup populer, masih muda dan ada di keluarga yang berkecukupan. Betapa hidup terlihat sempurna untuk Trem. Dia selalu mendapat beasiswa setiap tahun dari mulai SD sampai SMP, dia lulus seleksi masuk kelas akselerasi saat SMA dan berhasil lulus SMA dengan predikat memuaskan hanya dalam waktu 2 tahun, dia berhasil lolos SPMB dan diterima di jurusan yang ngedenger namanya aja bikin orang pada males sekolah, dia aktif di berbagai organisasi, dikenal vokal dan gak tanggung2 kalo nge-kritik orang, pengetahuan luas, background oke, apa yang kurang dari hidupnya???
Semua orang mungkin berpikir begitu saat pertama kali melihat Trem, dan Trem sendiri akan selalu berpikir seperti itu seandainya kakak perempuannya Isma gak pernah dilahirkan.
Isma kakak perempuan Trem, hanya terpaut 1.5 tahun dengannya, punya masalah keterbelakangan mental, IQ-nya dibawah orang normal pada umumnya, akibatnya Isma gak pernah bisa dewasa. Dari mulai sikap, sifat, tingkat intelegensia, emosi dan kedewasaan semua sama kayak anak kecil. Hanya tubuhnya yang tumbuh normal seperti orang pada umumnya, yang lainnya tumbuh lebih lambat atau mungkin tidak pernah mengalami perkembangan dari mulai usianya 10 tahun.
Dari kecil Trem selalu diingatkan oleh ayahnya untuk menjaga Isma, "jagain Isma, kalo bukan kamu yang jagain Isma siapa lagi yang bakal jaga?? orang lain mah gak akan ngerti Isma kayak apa!" Itulah kalimat yang selalu dilontarkan Ayahnya. Dan Trem selalu berpikir kebalikannya,"gak usah jauh2 ke orang lain, gw juga gak ngerti ama dia!! kenapa musti gw yang jagain dia?? yang adeknya kan gw, kenapa sih Allah ngasih gw kakak kayak Isma??".
Dan semuanya gak pernah berjalan seperti yang diharapkan Ayah Trem. Dari kecil Trem gak pernah mau ngalah ama Isma, dia ngerasa dia lebih baik maka dia harus mendapat lebih pula. Dia malas untuk berpikir bahwa Isma gak mungkin bisa ngimbangin dia, bahwa dia lah yang seharusnya sadar tentang keadaan Isma lebih dari siapapun. Yang dia tahu dia lebih segalanya dari Isma, dan sebenarnya Isma cuman ganggu hidupnya yang sempurna!!!
Tapi Allah memang Mahaadil. Masuk kuliah Trem dikasih liat apa dunia itu sesungguhnya. Dunia ini gak sebatas apa yang ada di kepala, gak cuman sebatas sejauh mata melihat, ada hal-hal yang mungkin gak bisa dilihat atau dipikir tapi bisa dirasakan. Trem gak punya temen. Bukan karena dia menyebalkan, tapi karena dia memang tak bisa sosialisasi. Selama ini hubungan sosialnya dengan orang lain selalu tertolong dengan keberadaannya sebagai "yang terhebat" atau "yang lebih" daripada yang lain. Tapi tidak begitu di Universitas ini. Kalau digolongkan dengan mahasiswa lain, dia tak lebih dari orang biasa saja, gak terlalu istimewa, cuman sekedar mahasiswa pada umumnya.
Trem frustasi, belum pernah sekalipun dia ngerasain yang namanya dianggap biasa ama orang, dianggap gak terlalu istimewa. Dia belum pernah merasakan tidak menjadi pusat perhatian ketika ngobrol, atau menjadi orang yang tidak dimintai pertolongan ketika ada pelajaran yang susah dimengerti, dia belum pernah pernah berada dalam kondisi mendengarkan orang lain bukan didengarkan orang lain. Intinya dia setengah gila memikirkan bahwa sekarang ini dia bukan siapa-siapa.
Keadaan sebaliknya terjadi pada Isma. Isma mungkin gak bisa pinter, isma mungkin gak kuliah tinggi, tapi semua orang suka ama Isma. Dimana ada Isma pasti ada orang ketawa, dimana ada Isma pasti ada suasana ceria. Kalo di rumah gak ada Trem, ayahnya selalu bilang "kenapa gak ada yang marah-marah ini teh?" , tapi kalo di rumah gak ada Isma ayahnya bilang "sepi nya, kamarana barudak teh?"(bahasa sunda, red: sepi ya, pada kemana anak-anak teh?) padahal hanya satu anaknya yang menghilang.
Trem mungkin luarbiasa kalau dilihat dari isi kepalanya, tapi Isma sangat luar biasa kalau dilihat dari isi hatinya. Dia punya kepekaan sosial yang lebih besar kalau dibanding dengan Trem yang "dingin-dingin" aja. Kalo ada nenek yang jatuh di jalan pasti Isma duluan yang bantuin sebelum akhirnya Trem nyadar dan ikut bantuin, kalo ada yang meninggal pasti Isma duluan yang dateng ke keluarganya dan ngucapin belasungkawa (meskipun dengan nada dan sikap anak2) sebelum akhirnya Trem nyusul untuk bilang belasungkawa juga. Trem mungkin jadi anak kebanggaan karena prestasinya selama ini, tapi saat dia bukan apa-apa dia gak terlalu keliatan istimewa. Isma selalu jadi anak yang disayang karena ke-supel-annya, dia mungkin gak punya masa depan seperti gadis normal pada umumnya, tapi semua orang tetap sayang sama dia.
Trem terus sadar, kalo dia sama sekali gak lebih baik dari Isma. Dia mungkin lebih pinter, tapi dia gak supel kayak Isma. Trem gak punya temen deket, tapi temennya isma tersebar di berbagai tempat dengan berbagai usia, orang-orang yang mungkin bermula dari simpati kepadanya kemudian berubah menjadi sayang.
Trem jadi ingat hubungan kakak beradik Watti-Elektra dari buku supernova-petir yang kemarin dibacanya...
Watti selalu butuh elektra, karena kalau ada elektra dia punya pembanding kalau dia lebih cantik. Dan meskipun elektra gak cantik, dia akan tetap terlihat luarbiasa karena apa yang telah dia lakukan.
mungkin itu juga yang terjadi pada Trem dan Isma. Trem butuh Isma karena keberadaan Isma membuatnya merasa bahwa dia punya harga lebih. Tapi Allah menempatkan Isma disisi Trem, karena Isma bisa mengingatkannya pada satu hal berharga yang tidak dia punyai. Sesuatu yang membuat harga manusia lebih dari sekedar kelihatannya, sesuatu yang terbungkus jauh di dalam jiwa manusia, segumpal darah yang hidup karena ruh, sesuatu bernama hati.
-- Terinspirasi karena tulisan menyegarkan Sitta Karina, thanx berat, tidak menyesal nyasar kesana ^^ --
Semua orang mungkin berpikir begitu saat pertama kali melihat Trem, dan Trem sendiri akan selalu berpikir seperti itu seandainya kakak perempuannya Isma gak pernah dilahirkan.
Isma kakak perempuan Trem, hanya terpaut 1.5 tahun dengannya, punya masalah keterbelakangan mental, IQ-nya dibawah orang normal pada umumnya, akibatnya Isma gak pernah bisa dewasa. Dari mulai sikap, sifat, tingkat intelegensia, emosi dan kedewasaan semua sama kayak anak kecil. Hanya tubuhnya yang tumbuh normal seperti orang pada umumnya, yang lainnya tumbuh lebih lambat atau mungkin tidak pernah mengalami perkembangan dari mulai usianya 10 tahun.
Dari kecil Trem selalu diingatkan oleh ayahnya untuk menjaga Isma, "jagain Isma, kalo bukan kamu yang jagain Isma siapa lagi yang bakal jaga?? orang lain mah gak akan ngerti Isma kayak apa!" Itulah kalimat yang selalu dilontarkan Ayahnya. Dan Trem selalu berpikir kebalikannya,"gak usah jauh2 ke orang lain, gw juga gak ngerti ama dia!! kenapa musti gw yang jagain dia?? yang adeknya kan gw, kenapa sih Allah ngasih gw kakak kayak Isma??".
Dan semuanya gak pernah berjalan seperti yang diharapkan Ayah Trem. Dari kecil Trem gak pernah mau ngalah ama Isma, dia ngerasa dia lebih baik maka dia harus mendapat lebih pula. Dia malas untuk berpikir bahwa Isma gak mungkin bisa ngimbangin dia, bahwa dia lah yang seharusnya sadar tentang keadaan Isma lebih dari siapapun. Yang dia tahu dia lebih segalanya dari Isma, dan sebenarnya Isma cuman ganggu hidupnya yang sempurna!!!
Tapi Allah memang Mahaadil. Masuk kuliah Trem dikasih liat apa dunia itu sesungguhnya. Dunia ini gak sebatas apa yang ada di kepala, gak cuman sebatas sejauh mata melihat, ada hal-hal yang mungkin gak bisa dilihat atau dipikir tapi bisa dirasakan. Trem gak punya temen. Bukan karena dia menyebalkan, tapi karena dia memang tak bisa sosialisasi. Selama ini hubungan sosialnya dengan orang lain selalu tertolong dengan keberadaannya sebagai "yang terhebat" atau "yang lebih" daripada yang lain. Tapi tidak begitu di Universitas ini. Kalau digolongkan dengan mahasiswa lain, dia tak lebih dari orang biasa saja, gak terlalu istimewa, cuman sekedar mahasiswa pada umumnya.
Trem frustasi, belum pernah sekalipun dia ngerasain yang namanya dianggap biasa ama orang, dianggap gak terlalu istimewa. Dia belum pernah merasakan tidak menjadi pusat perhatian ketika ngobrol, atau menjadi orang yang tidak dimintai pertolongan ketika ada pelajaran yang susah dimengerti, dia belum pernah pernah berada dalam kondisi mendengarkan orang lain bukan didengarkan orang lain. Intinya dia setengah gila memikirkan bahwa sekarang ini dia bukan siapa-siapa.
Keadaan sebaliknya terjadi pada Isma. Isma mungkin gak bisa pinter, isma mungkin gak kuliah tinggi, tapi semua orang suka ama Isma. Dimana ada Isma pasti ada orang ketawa, dimana ada Isma pasti ada suasana ceria. Kalo di rumah gak ada Trem, ayahnya selalu bilang "kenapa gak ada yang marah-marah ini teh?" , tapi kalo di rumah gak ada Isma ayahnya bilang "sepi nya, kamarana barudak teh?"(bahasa sunda, red: sepi ya, pada kemana anak-anak teh?) padahal hanya satu anaknya yang menghilang.
Trem mungkin luarbiasa kalau dilihat dari isi kepalanya, tapi Isma sangat luar biasa kalau dilihat dari isi hatinya. Dia punya kepekaan sosial yang lebih besar kalau dibanding dengan Trem yang "dingin-dingin" aja. Kalo ada nenek yang jatuh di jalan pasti Isma duluan yang bantuin sebelum akhirnya Trem nyadar dan ikut bantuin, kalo ada yang meninggal pasti Isma duluan yang dateng ke keluarganya dan ngucapin belasungkawa (meskipun dengan nada dan sikap anak2) sebelum akhirnya Trem nyusul untuk bilang belasungkawa juga. Trem mungkin jadi anak kebanggaan karena prestasinya selama ini, tapi saat dia bukan apa-apa dia gak terlalu keliatan istimewa. Isma selalu jadi anak yang disayang karena ke-supel-annya, dia mungkin gak punya masa depan seperti gadis normal pada umumnya, tapi semua orang tetap sayang sama dia.
Trem terus sadar, kalo dia sama sekali gak lebih baik dari Isma. Dia mungkin lebih pinter, tapi dia gak supel kayak Isma. Trem gak punya temen deket, tapi temennya isma tersebar di berbagai tempat dengan berbagai usia, orang-orang yang mungkin bermula dari simpati kepadanya kemudian berubah menjadi sayang.
Trem jadi ingat hubungan kakak beradik Watti-Elektra dari buku supernova-petir yang kemarin dibacanya...
Watti selalu butuh elektra, karena kalau ada elektra dia punya pembanding kalau dia lebih cantik. Dan meskipun elektra gak cantik, dia akan tetap terlihat luarbiasa karena apa yang telah dia lakukan.
mungkin itu juga yang terjadi pada Trem dan Isma. Trem butuh Isma karena keberadaan Isma membuatnya merasa bahwa dia punya harga lebih. Tapi Allah menempatkan Isma disisi Trem, karena Isma bisa mengingatkannya pada satu hal berharga yang tidak dia punyai. Sesuatu yang membuat harga manusia lebih dari sekedar kelihatannya, sesuatu yang terbungkus jauh di dalam jiwa manusia, segumpal darah yang hidup karena ruh, sesuatu bernama hati.
-- Terinspirasi karena tulisan menyegarkan Sitta Karina, thanx berat, tidak menyesal nyasar kesana ^^ --
2 comments:
put, si trem itu elu-eluan bukan?
hehe, soalnya gw punya yang begituan, namanya sandra...hidupnya mirip gw dengan modifikasi tertentu
@Anya : Trem itu trem. Hidupnya mirip gw, tapi hidup gw juga mirip dia. Gw bukan dia dan dia bukan gw. Trem bisa siapa aja, bisa elu juga...^^
Post a Comment