Aku menyukai hal yang pasti. Hampir semua pertanyaan dapat kujawab tanpa kata 'mungkin'. Jika aku tak punya jawaban, aku akan bilang 'tidak tahu'. Tak pernah kubayangkan bahwa ada saatnya aku akan membisu akan sebuah pertanyaan... tak pernah...
"aku ingin kamu jadi istriku"
Tidak, itu bukan pertanyaan. Itu pernyataan sikap.
"tapi aku ingin kamu berhenti kerja, bisa?"
Ya, itu dia pertanyaannya. Pertanyaan yang membuatku membatu entah untuk berapa lama. Cukup lama untukku membayangkan ada mata Medusa atau Basilisk yang sedang memandangiku... apalagi yang bisa membuatku membatu selama ini.
"kamu becanda kan?"
Hanya itu yang sanggup keluar dari mulutku.
"pikirin aja dulu... "
Hanya itu yang dia jawab.
"oke, apa ini artinya kamu nyuruh aku milih antara kamu atau karirku?"
Tanyaku lagi. Dan kutunggu jawabannya untuk beberapa saat. Dia tidak menjawab, dia hanya diam memandangkan, tak bersuara. Dan aku tahu jawabannya meski tak disuarakan.
Tanya jawab itu terjadi minggu lalu. Aku tak bertemu atau bicara dengannya selama itu. Aku terlalu takut untuk menghubungi dan baginya, sikapnya sudah jelas, dia hanya butuh jawabanku. Dan sampai saat ini aku masih tidak punya.
Lalu kenapa aku menuju padanya sekarang?
Aku tak tahu. Seminggu ini sepertinya mendadak ada yang menyelipkan selubung tak kasat mata di sekeliling kepalaku, mencegahku untuk memproses segala input dari dunia luar. Aku tak terlalu ingat apa yang kudengar, kulihat, kurasakan... sepertinya seluruh otakku tak akan bekerja benar sampai aku bisa memproses jawaban itu. Jawaban yang aku tak tahu apakah akan pernah aku miliki.
Aku tak pernah tahu bahwa otakku bekerja secara serial. Tidak bisa memproses hal lain sebelum yang lalu selesai diproses. Efisiensi rendah, maintenance tinggi. Bahkan aku sudah tak bisa memproses kemana aku mengarah. Sudah dua kali aku sadar aku melewati belokan yang kutuju, dan harus memutar jauh. Aku sudah gila.
Dengan usaha yang lebih dari biasanya, aku sampai kesana. Tempatnya. Aku memang sudah gila, apa yang kulakukan disini kalau aku tak punya jawaban?
Mobilku terparkir tanpa aku sadar pernah memarkirkannya. Aku tak benar-benar ingat kemana aku melangkah, apakah aku menyapa resepsionis di depan tadi? apa aku menekan tombol panggil lift? apa aku menekan nomor angka lantai yang benar?
Yang aku sadari, aku sudah berdiri di depan pintunya, entah untuk apa.
Kupandangi nomor unit yang tertempel di pintu. Berusaha mengembalikan nyawa dan kesadaran yang entah menghilang kemana, baru kemudian mengetuk. Ah, bahkan aku lupa disana ada bel. Pintu terbuka beberapa saat kemudian, dan dia berdiri disana memandangku lurus, dengan ekspresi seolah dia sudah menungguku lama.
Tak ada sapaan. Kami hanya saling pandang, tidak tahu siapa yang harus memulai. Dan aku menunggu, menunggu ada suara yang keluar dari mulutnya, atau sekedar perubahan emosi di wajahnya. Tak ada yang berubah. Seketika panik, amarah dan putus asa yang membumbung dalam seminggu ini membuncah keluar. Aku menghambur masuk ke apartemennya. Aku berbalik tepat saat pintu tertutup.
"please don't do this!" kataku. Suaraku bergetar, tanganku terkepal keras dan mataku memanas.
Dia menutup matanya pelan kemudian menunduk. Akhirnya ekspresi wajahnya berubah. Dia terlihat lelah. Dia menyandarkan badan ke pintu kemudian mengangkat wajahnya dan memandangku lurus. Kelelahan itu bercampur rasa pasrah, dia menyerah.
Tidak. Kumohon jangan.
Aku maju dan menggenggam tangannya.
"kita masih bisa obrolin ini, aku mohon... aku mohon... " aku diam sebentar. Apa yang kulakukan?
"why you're doing this to me? aku gak punya apa-apa lagi... karirku... cuman itu... why you're doing this to me?" Aku menarik kerah bajunya dan berteriak padanya. Hanya tinggal amarahku yang tersisa.
"they relocate me..." katanya kemudian, aku menunggu... "... to Texas, for good".
Aku melepaskannya dan berdiri disana, kembali terdiam.
Dia memandang wajahku lembut, "aku minta maaf... tapi seperti kamu, aku pun hanya punya pekerjaan ini..." katanya.
Dan akupun teringat, satu percakapan lama, saat yang ada adalah 'gw-lu', saat kami hanya berusaha tahu lebih banyak tentang yang lain, diantara beberapa gelas kopi.
"gw gak punya saudara.." kataku sambil membuka jadi kelingking dari kepalan tangan, "...gw gak cantik, gak terinspirasi bwt jadi cantik juga, duit gw pas-pasan, suara gw fals, mata gw siwer dan telinga gw agak budek, tapi... " aku menyebutkannya satu-satu sambil membuka kepalan tanganku jari demi jari, kemudian aku mengangkat telunjukku padanya,
"I am surprisingly good at my work, so... that's what left, my work is me, klo kerjaan gw sucks... gw sucks! Deskripsi hidup paling payah pokonya... " kataku dilanjutkan tawa, dia pun terkekeh.
"yah... list gw gak sepanjang itu sih, but that last part is the same here, sebelas-dua belas deh kita" jawabnya sambil nyengir.
"gak bisa dibikin tigabelas-empatbelas ya? atau duapuluh-tigapuluh gitu?" balasku.
"buat lu seratus-duaratus deh gw kasih..." katanya, dan kami pun terkekeh bersama. Menghabiskan entah gelas kopi keberapa sambil berdebat tentang deretan angka. Menggambarkan kesamaan yang kami pikir akhirnya membawa kami bersama. Kali ini, kesamaan itu yang akan membuat kami terpisah.
Aku kembali ke masa ini. Memandang ekspresi lelah di wajahnya, dan merasakan harapan semakin menghilang dari diri. Dia melangkah maju dan mengambil kedua tanganku, menggenggamnya erat sebelum kemudian menciumnya lembut.
"thank you... for everything" katanya.
And that's it. The simple word of gratitude at the end. Apa itu cukup?
Aku lebih menyadari bagaimana menit berjalan setelahnya. Menaruh lebih banyak perhatian terhadap lekuk lorong apartemen yang mungkin tak akan kukunjungi lagi, mengenali satu bagian lantai tak rata yang pernah membuatnya terjatuh, atau cermin di samping lift yang selalu kupakai untuk merapikan diri sebelum mengunjunginya. Aku menyadari menyapa selamat tinggal pada resepsionis dan kemudian kembali meniti garis putus-putus di tengah jalan raya menuju ke rumahku.
Setiba di rumah aku langsung membuka safe deposit box di ruang kerja. Mengeluarkan satu kotak kecil berisi lempeng emas tipis. Aku mengangkatnya dan memandang inskripsi pada permukaannya:
For Andani and the hope of a long-lasting journey.
Hadiah pertunangan darinya untukku. Pengganti cincin, karena dia tahu aku tak pernah suka perhiasan. Satu realisasi ide yang terdengar konyol tapi pragmatis, seperti candaannya saat itu "setidaknya kalau kita gagal, kamu punya investasi tambahan".
Aku mulai berpikir bagaimana aku akan menjualnya, dan akan kugunakan untuk apa uang hasil penjualannya, mungkin membeli beberapa pasang sepatu baru, atau membiayai perjalanan panjang ke negeri seberang. Aku terus berpikir sampai kemudian hanya ada suara isak tangis yang terdengar, dan aku tak bisa berpikir lagi. Hanya rasa kecewa akan satu perjalanan yang selesai di tengah jalan.
No comments:
Post a Comment