Kemarin sebuah twit dari @atiekpuspa membawa saya ke sebuah blogpost darinya yang berjudul "kenapa kelas inspirasi gak penting?"
Sebagai pengantar, beberapa waktu ini saya memang sedang semangat-semangatnya jadi provokator untuk program Kelas Inspirasi. Satu program nirlaba yang di inisiasi oleh Indonesia Mengajar dan beberapa profesional, yang memfasilitasi para profesional untuk berbagi mengenai profesinya dengan anak-anak SD. Tahun lalu, saya sudah semangat-semangat ingin turut serta di acara ini tapi ternyata karena beberapa hal jadinya hanya bisa jadi penonton dari jauh (yang sebal hati karena cuman bisa nonton). Tahun ini, lewat satu obrolan kecil dengan Alia, saya dikenalkan ke Atiek dan bisa ikut serta di acara ini.
Dalam post tersebut, ada satu pertanyaan Atiek yang saya tanyakan ke diri sendiri juga, 'mengapa saya ingin ikut mengurus kelas inspirasi?'. Kalau jawaban Atiek itu keren: "karena hal itu penting untuk semua pihak", jawaban saya egois banget: "karena saya merasa hidup saya akhir-akhir ini terasa garing!". Karena alasan keikutsertaan yang cukup egois itu, saya sebelumnya belum pernah memikirkan lebih jauh tentang konsep Kelas Inspirasi ini. Saya hanya merasa kegiatan ini cukup keren untuk diperjuangkan. Tapi kemudian, sebuah pencerahan muncul ke diri saya pada saat saya nonton film Habibie & Ainun.
Saya tidak akan bercerita banyak soal filmnya. Singkatnya, film itu bagus dan akting Reza Rahadian adalah point utama yang membuat film itu jadi bagus. Saya sendiri awalnya tidak terlalu berniat nonton film ini, hanya ingin menemani kakak saya, Intan dan Mamah menonton. Walau saya fans berat Habibie, saya tetap tidak terlalu suka film romance. Film ini menceritakan setengah abad perjalanan pak Habibie dan ibu Ainun. Suatu kisah cinta panjang yang seperti lirik dalam lagu tema yang dinyanyikan Bunga Citra Lestari, "cinta yang melukiskan sejarah". Dari mulai saat mereka sekolah, tinggal di Jerman dan kembali ke Indonesia. Dan saat bercerita tentang pak Habibie, tentunya tidak akan lepas dari pesawat terbang dan pastinya IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara), dan bagian tentang IPTN ini yang paling menyadarkan saya.
Papah saya dulu bekerja di IPTN saat masih jaya-jayanya. Beliau bukanlah engineer utama dengan jabatan bergengsi di sana, beliau hanya seorang teknisi di bagian Security Electronic Devices. Tapi Papah sering mengajak saya ke kompleks IPTN. Control room tempat dia bekerja adalah tempat dimana semua sisi IPTN bisa terlihat, ruangan yang isinya monitor-monitor yang menangkap gambar dari semua surveillance camera yang ada di seluruh kompleks IPTN. Dan saya, selalu merasa girang jika diajak kesana, pasalnya, saya bisa melihat hanggar tempat pesawat-pesawat itu dibangun.
Saat itu saya bertanya pada Papah, orang seperti apa yang bisa ikut membuat pesawat terbang dengan pak Habibie. Papah selalu bercerita bahwa mereka itu insinyur, mereka itu orang-orang terpintar dari seluruh Indonesia. Beberapa sekolah di ITB kemudian berangkat ke Jerman untuk master, seperti pak Habibie. Saya selalu semangat mendengar ceritanya, dan saya akan selalu bertanya, bagaimana caranya supaya saya bisa jadi bagian dari orang-orang itu? bekerja di IPTN, membuat pesawat terbang, dan menjadi bagian dari orang-orang terpintar di negeri ini? Papah pasti akan menjawab, "sekolah yang rajin, semangat belajar dan jadi orang jujur".
Dan itulah yang membakar semangat saya untuk sekolah, untuk selalu belajar. IPTN adalah obsesi saya, makanya saya mungkin bagian dari sedikit orang yang menangis hebat saat IPTN akhirnya runtuh, dan sejujurnya saat beberapa bulan lalu saya menghadiri sebuah pernikahan disana, saya tetap menangis saat pulang. Rasanya seperti patah hati akan cinta pertama yang tidak akan pernah bisa dilupakan. You can move on, but it will be there forever.
Walau saya tidak berjodoh dengan IPTN, tapi pengalaman saya dengan IPTN lah yang menumbuhkan semangat saya untuk maju. Seorang anak kecil yang gak tinggi-tinggi, berasal dari keluarga menengah bawah yang tinggal di pinggiran bandung, terlalu pemalu untuk seumurannya tapi mengidolakan sosok bertubuh kecil lain yang dikenal sebagai salah satu manusia Indonesia terpintar yang pernah ada, dan punya kesempatan untuk berkenalan langsung dengan industri besar yang dibuatnya. Industri yang bisa mengumpulkan orang-orang pintar lainnya dan mengispirasi jutaan anak Indonesia untuk bisa percaya bahwa jadi orang Indonesia itu tidak berarti kita tidak bisa maju.
Dan di situlah saya menyadari apa nilai Kelas Inspirasi sebenarnya. Lewat Kelas Inspirasi ini, banyak orang pintar yang bisa dikumpulkan dan menginspirasi anak-anak Indonesia. Saya yang berasal dari generasi yang lahir tahun 80an, beruntung bisa tumbuh besar dengan mempunyai seorang Habibie sebagai idola dan impian bernama IPTN, generasi sekarang tidak punya itu. Anak-anak kecil lain yang juga gak tinggi-tinggi, dan lebih parahnya mungkin tidak punya akses ke internet, yang sehari-harinya berkelumit dengan isu 'besok makan atau enggak' dan merasa bahwa berantem dengan anak di kampung sebelah lebih keren daripada pergi ke sekolah, seperti apa yang Atiek ceritakan di post yang saya sebutkan di awal.
Anak-anak itu mungkin tidak pernah mengenal dan menyadari sebesar apa manusia Indonesia bisa berkembang. Mereka mungkin tumbuh besar dengan berbagai berita miring di televisi yang isinya kebanyakan gosip selebriti, dan persaingan politisi. Mereka mungkin hampir tidak pernah mendengar atau menonton berita tentang penerbangan perdana sebuah pesawat terbang yang dibuat oleh sekumpulan insinyur terbaik negeri ini. Bagaimana mereka bisa percaya bahwa ada kesempatan di luar batas keseharian hidupnya yang bisa mereka raih?
Kelas Inspirasi adalah satu gerakan kecil yang saya pikir bisa memberikan hal tersebut. Memberikan informasi akan suatu kesempatan, membuat mereka percaya bahwa saat mereka punya cita-cita dan berusaha dengan sungguh-sungguh pasti akan ada jawaban yang Tuhan berikan pada mereka.
Saya tahu mungkin agak lebay membandingkan Kelas Inspirasi dengan impact yang ditimbulkan Habibie dan IPTN dulu. Tapi seperti slogan gerakan Indonesia Mengajar, "berhenti mengecam kegelapan, nyalakan lilin", Kelas Inspirasi itu ibaratnya sebatang lilin yang ingin dinyalakan.
Dulu saya anak kecil yang gak tinggi-tinggi, yang hanya bisa melihat orang lain membuat pesawat terbang dari layar dan berharap saya bagian dari mereka. Saat ini, saya sudah agak gedean, dan memang sekarang saya tidak ingin lagi dan tidak bisa membuat pesawat terbang, dan mungkin yang saya lakukan sekarang juga tidak se-spektakuler membuat sebuah pesawat terbang. Tapi saya pikir saya bisa jadi satu bagian dari orang-orang yang menyalakan lilin, bukan yang bisanya hanya mengecam gelap.
Itulah mengapa Kelas Inspirasi penting, dan mengapa menjadi bagian darinya adalah satu kesempatan yang luarbiasa. Jadi kawan, saya mau mengajak teman-teman yang punya kesempatan membaca post ini untuk menyempatkan dirinya jadi bagian dari Kelas Inspirasi. Mari kita nyalakan lilin dan berhenti mengecam kegelapan.
Pendaftaran peserta Kelas Inspirasi : www.kelasinspirasi.org
pic taken from Kelas Inspirasi web.
1 comment:
pengen nangis bacanyaa.. :'( pupuuut suatu saat ntar pasti IPTN bakal bangkit lg, mungkin bakal reinkarnasi namanya berubah, tp jiwa-nya ttp jiwa IPTN. :') semangath puuut, pasti bnyk anak2 yg terinspirasi sama lo, kaya gw yg temen n seumuran lo, jd semangath lg klo abis ngobrol ma lo. :) very proud of you! *bighug
Post a Comment