Wednesday, February 24, 2010

Monolog

Ritual sabtu pagi. Seperti biasa, hanya aku dan dia, secangkir kopi hitam dan secangkir teh hijau panas. Cafe ini masih sepi seperti biasa, dan dia pun memulai monolognya dengan kalimat yang sama...

"haaahhh... apa gw resign aja ya???"

Pertanyaan retoris itu kembali terlontar dari mulutnya. Aku tak menjawab, karena memang aku tak perlu menjawab, kita berdua sama-sama tahu bahwa dia tak akan pernah resign. Lima tahun mengenalnya aku jadi menganggap pekerjaan akuntan publik hanya cocok untuk orang tukang ngeluh, karena mereka akan mengeluh ingin resign setiap 3 jam sekali, setiap hari, setiap minggu selama peak season, setiap tahunnya. Tapi lima tahun pula aku mengenalnya untuk tahu bahwa dia terlalu mencintai pekerjaan itu untuk bisa resign. Karena itu aku tak perlu menjawabnya, aku hanya butuh tersenyum.

"gila, bisa sinting gw kalo kerja kayak gini terus, nyokap gw udah ribut aja ngeliat jadwal gw balik ke rumah. ya mau gimana lagi, gini kerjaan gw..."

Dia kembali memulai monolog panjangnya, hal yang akan terus diulang olehnya, ini adalah ritual sabtu pagiku selama 5 tahun terakhir dan monolog itu akan berakhir dengan...

"...hah... gw capek"

Aku kembali tersenyum. Memperhatikan dia mengacak rambutnya sendiri, rambut yang jika tidak kuingatkan mungkin akan lupa dia potong. Kenapa rambut laki-laki harus selalu cepat tumbuh? menjengkelkan sekali melihatnya gondrong. Aku mendorong cangkir berisi teh hijau panas ke arahnya.

"minum dulu" kataku.

Dia melirik cangkir teh itu dan tersenyum kecil. Perasaan itu kembali muncul.

Setiap kali aku melihatnya tersenyum, walau di sela kesal yang teramat sangat, senyum itu selalu muncul. Aku sangat menyukai senyumnya itu, membuatku ingin mengacak rambutnya, tertawa dan memeluknya erat. Aku tak perduli dengan segala keluh kesahnya asalkan senyum itu selalu muncul pada akhirnya.

"lu kok tahan dengerin keluhan gw?" tanyanya sambil mengangkat cangkir itu.
"dah kebiasa" balasku.
"hmmm... seandainya Ira gitu ya... hah, kemarin gw ketemu dia..." dan monolognya kembali dimulai. Masih monolog yang pernah kudengar, hanya dengan topic yang tak pernah bisa kunikmati.

Ceritakanlah padaku semua kesalmu, tentang pekerjaanmu, keluargamu, teman-temanmu, tapi kumohon jangan tentang dia. Lima tahun aku mengenalmu, dan tidak sampai setahun kau mengenalnya. Aku lebih banyak mengenalnya lewat keluh kesahmu dan bukan cerita bahagiamu, lalu mengapa harus dia?

Monolognya tetap sepanjang biasanya, dengan setiap kata yang seperti menyayat langsung ke tubuhku. Oh Tuhan, ini sakit sekali, aku butuh anesthesia.

"... tu cewek tuh bikin gw kesel setengah mati, udah tau kerjaan gw ribet, tambah diribetin urusan dia... ngomongnya cerewet lagi... haahhh... dasar cewek!" monolognya selesai.

Aku memperhatikannya erat-erat, menunggu tusukan terakhir yang aku tahu akan datang... dia tersenyum. Dia tersenyum seperti halnya senyum saat dia mengakhiri monolognya yang lain. Betapa senyum yang sama memberikan efek yang berlawanan padaku, membuatku bahagia dan menyiksaku juga. Aku diam, menutup mata, menekan rasa sakit itu sekuatnya.

Selalu aku ingin bertanya, aku yang mengenalmu lebih lama, aku yang mengenalmu lebih baik, aku yang bisa mendengar semua keluhmu tanpa protes dan aku yang selalu melewati ritual sabtu pagi ini selamat lima tahun terakhir, hanya aku dan kamu, lalu mengapa ada dia? mengapa aku selalu melihat senyummu untuk dia?

... aku tak pernah mengerti.

No comments: