Thursday, May 8, 2008

8 Mei 1988

Seorang ibu dilarikan ke rumah sakit karena terjatuh saat sedang beres-beres rumahnya, beliau sedang hamil tujuh bulan lebih. Di rumah sakit kemudian diketahui bahwa beliau harus melahirkan sekarang juga. Dan bayi itu kemudian dilahirkan prematur, dengan berat 1,7 kg dan keadaan kesehatan yang tidak jelas. Bayi itu tak menangis saat dilahirkan, satu-satunya tanda bahwa dia hidup adalah detak jantung dan desah nafasnya yang lemah. Ayah sang bayi kemudian menghubungi dokter yang menangani istrinya.

"pak, peralatan yang kami miliki di sini tidak memadai, anak bapak harus dibawa ke pusat, butuh dimasukkan ke inkubator" begitulah istruksi dokter pada sang Ayah. Sang Ayah kemudian menghubungi temannya di kantor dan teman Ayah itu meminjam mobil kantor untuk dipakai membawa bayi baru lahir itu ke rumah sakit pusat, sang Ayah sendiri yang menggendong bayi kecil itu.

"leutik pisan ndang, prematur? awewe, lalaki?" [kecil banget, perempuan, laki-laki?] teman sang Ayah bertanya dari balik kemudi.
"awewe" [perempuan] sang Ayah hanya menjawab singkat, dia masih memandang bayi kecil di pangkuannya dengan seksama, berusaha memastikan ada desahan nafas di tubuh kecil itu. Desahan nafasnya sangat lemah, berlawanan dengan detak jantung berdebar sang Ayah saat itu.

Sesampainya di rumah sakit pusat sang Ayah langsung menuju bagian yang dirujuk dokter rumah sakit sebelumnya, setelah laporan pada dokter jaga dia menghampiri suster yang pertama dilihantya.
"suster, jadi ini anak saya digimanain?" tanyanya berusaha tenang.
"ya gendong lah ama bapak, itu kan anak bapak bukan anak saya" si suster menjawab seenaknya. Tak terkira kesalnya hati sang ayah saat itu, tapi kekesalannya itu dia tahan sebisa mungkin dan dia pun membawa bayi kecilnya ke ruang inkubator, suster disana rupanya jauh lebih baik dari suster jaga yang pertama kali ditemuinya.

Walau sudah diserahkan pada ahlinya, sang Ayah tetap tak tenang. Dia mengintip penanganan putri baru lahirnya itu dengan seksama. Sedikit menahan nafas saat dilihatnya para suster itu menusukkan beberapa jarum infus ke kening putrinya. "masa sampai harus di kepala..." batinnya, sama sekali tidak membuatnya tambah tenang. Si bayi kemudian dimasukkan ke dalam inkubator, beberapa saat, dan kemudian sang Ayah melihat bayi itu bergerak. Ada sedikit rasa lega dalam hatinya, walau belum mengalahkan rasa tegangnya. Malam itu dia menunggu di rumah sakit, sambil terus menengok keadaan bayinya di inkubator.

Malam pertama lewat, malam kedua lewat, malam ketiga lewat. Sang Ayah tetap menunggu dengan sabar tanpa ada berita tambahan dari dokter. Saat itu memang bulan puasa, tapi puasa sang ayah telah berubah menjadi tidak makan selama tiga hari-tiga malam, juga tak tidur dalam durasi waktu yang sama. Rasa khawatir dan tegangnya mengalahkan keinginannya untuk mencari makan dan meninggalkan bayinya. Dia tetap menunggu disana, masih dengan pakaian yang sama dengan tiga hari yang lalu, karena saat itu hanya dirinyalah yang dapat diandalkan sang bayi. Sang Ibu masih terbaring di rumah sakit terdahulu tanpa sempat melihat putri yang baru dilahirkannya sebelum dilarikan ke RS pusat. Para kerabat pun belum ada yang tahu dimana bayi perempuan itu dirawat, mereka masih berkumpul dengan sang Ibu di rumah sakit terdahulu.

Sang Ayah kembali melongok ke kamar kaca dimana terdapat inkubator berisi bayi kecilnya, dan betapa kagetnya dia saat dilihatnya darah mengalir dari kening putrinya itu. Sang Ayah kontan melompat dan mencari dokter atau suster yang berjaga. Panik, tak hati-hati melangkah dia terjatuh. Rasa capek dan kurang nutrisi yang melandanya selam tiga hari ini membuatnya kehilangan tenaga dan terbaring di lantai, tak sanggup berdiri walau dalam hati masih panik mengingat bayi kecilnya dalam inkubator. Syukurlah ada suster yang lewat dan menolong sang Ayah, walau terlihat dia ingin tertawa.

"bapak ngapain tidur di lantai?" tanya suster.
"bayi saya sus, berdarah kepalanya" sang Ayah berusaha menjelaskan dengan sisa energinya yang ada. Suster segera masuk ke ruang kaca tempat inkubator bayinya berada, dia langsung menangani si bayi. Sang Ayah menunggu di luar dengan kepanikan yang tidak mereda, beberapa saat kemudian suster pun keluar.
"tenang pak, cuman selang infusnya kegeser" kata suster. Sang Ayah agak merasa tenang sekarang.
"bapak belum makan ya? silakan cari makanan saja dulu pak, biar nanti anaknya saya yang jaga" suster itu menawarkan, tapi sang Ayah terlalu tak tega untuk meninggalkan bayi kecilnya itu, dia tetap tinggal disana.

Sudah empat hari, belum ada yang datang, mungkin belum ada yang tahu kalau bayinya dirawat di situ. Rasa lapar dan capek yang dialami sang Ayah sudah sedemikian beratnya, tapi dia tetap tak tega meninggalkan anaknya. Tahun itu belum ada telpon genggam beredar, tidak bisa menelpon dengan leluasa dan berita tak dapat diberitahukan secara cepat. Sang Ayah pun bingung bagaimana dia bisa menghubungi istri dan kerabatnya tentang keadaan bayinya itu.

Seorang bayi lagi kemudian masuk ke ruangan kaca penuh inkubator itu. Sang Ayah mendapat teman menunggu, sepasang suami istri muda yang juga menunggui putri pertama mereka yang sakit. Sang Ayah mendapat makanan pertamanya selama empat hari di rumah sakit, pasangan muda itu membawa cukup persediaan makanan untuk menunggu, dan mereka dengan senang hati membaginya dengan sang Ayah. Lihatlah betapa nasib terburuk pun bisa mempertemukan kita dengan kawan seperjuangan. Setelah mendapat sedikit energi sang Ayah kemudian menitipkan sebentar putrinya pada pasangan muda itu, dia minta diri untuk menelpon. Sang Ayah kemudian berlari ke telpon umum terdekat di luar rumah sakit dan menelpon ke kantornya, satu-satunya tempat yang dia tahu punya telepon. Melalui teman sekantornya dia menitipkan pesan untuk istri dan keluarganya bahwa dia dan bayinya berada di rumah sakit pusat, dan agar mereka segera kesana dengan membawa makanan.

Malam hari di hari keempat, ibu angkat istrinyalah yang pertama kali datang membawa makanan dan menengok keadaan bayi mungil itu. Hal yang kemudian diucapkannya adalah "sing sabar nya endang". [yang sabar ya endang]

Hari-hari berikutnya kerabatnya bermunculan, dan tepat seminggu bayi mungil itu di rumah sakit, ibunya akhirnya datang. Saat itu sang ibu sudah diizinkan meninggalkan rumah sakit. Dan ibu dan anak itu bertemu untuk pertamakalinya. Sang Ibu jelas tidak lebih tegar dari suaminya. Wajahnya pucat, letih akibat melahirkannya belum hilang dan sekarang bercampur dengan rasa tak tenang melihat keadaan putri yang baru dilahirkannya. Akankah bayinya itu melihat dunia? Tak elak pikiran itulah yang terlintas di benaknya.

Hari-hari berikutnya, sang bayi ditemani oleh kedua orangtuanya, yang semakin hari tidak bertambah tenang. Sudah tiga bayi dikeluarkan dari ruangan itu semenjak sang ibu tiba, tak ada yang keluar karena telah sembuh, semuanya keluar dari sana karena telah kembali ke tempatnya berasal. Sang Ayah dan Ibu menjadi saksi beberapa orang tua lain seperti mereka menangis meraung di koridor rumah sakit, melihat ibu yang histeris karena kehilangan anaknya.

Pikiran buruk terkadang terlintas dalam benak sang ibu,
"papah, anak urang iraha nya?" [papah anak kita kapan ya?] pertanyaan itu lolos dari mulutnya. "hush, istigfar, sing loba ngadua we" [hush, istidfar, berdoa yang banyak aja] suaminya berusaha mengingatkan sang Ibu.

Para kerabat berdatangan, tak satupun yang yakin bayi mereka akan selamat. Semuanya hanya mendesah panjang, mengucap doa kemudian menepuk bahu sang Ayah, "sing sabar nya", begitulah ucapan yang terdengar. Mungkin seharusnya keyakinan kedua orang tua itu menipis, tapi mereka tak mau mengakuinya, mereka masih percaya bahwa putri mereka akan bertahan.

Dari beberapa penghuni ruang inkubator itu, masih tersisa bayi sang Ayah dan Ibu serta bayi pasangan muda yang membantu sang ayah beberapa hari lalu. Keduanya saling menguatkan, saling membantu dan saling berdoa agar putri mereka bisa lolos dari keadaan kritisnya. Tak ada yang lebih menyenangkan selain menemukan teman senasib dan berbagi saat kesulitan yang tak dimengeri orang lain melanda, Allah selalu dapat menempatkan bala bantuannya dimana saja. Dua minggu lebih berselang, dan dokter membawa berita baik untuk kedua orangtua gigih itu.

"berat badannya udah naik pak, Insya Allah kalau terus begitu sampai beratnya agak normal anaknya boleh dibawa pulang" kata sang dokter. Ucapan syukur pun terpanjat dari sang Ayah dan sang Ibu, mereka semakin yakin harapannya terjawab.

Hampir dua bulan berselang. Si bayi kecil sudah tak sekecil saat dia lahir, walau masih terlalu kecil untuk ukuran bayi normal. Sudah hampir dua bulan pula dia terkurung dalam inkubator kaca sempit itu. Syukurlah saat itu dia belum bisa melihat, kalau matanya sudah terbuka tentu dia akan sangat kesal berada di ruang sempit dibatasi kaca seperti itu, seolah dia tak lebih dari tontonan orang di luar sana. Infus di kepalanya telah dilepas dan sekarang dia sudah minum ASI ibunya. Si bayi tidak meminumnya lewat mulut, tapi disuntikkan lewat hidung, mulut dan kerongkongannya belum terlalu siap menerima makanan.

Dua bulan setengah, dan dokter membawa kabar gembira. "sudah pak, sudah boleh pulang, tapi cek up rutin ya, biar bisa dipantau perkembangannya". Sang Ayah dan Ibu merasa sangat bahagia. Bayi mereka selamat. Dan saat akan pulang mereka kemudian memikirkannya, di tengah kesemrawutan keadaan semenjak bayi itu lahir, mereka belum memberi bayi itu nama.

"putri?" sang Ayah bertanya pada istrinya.
"ah, jangan, banyak teuing yang namanya putri, puput aja" sang Ibu memberikan usulan yang dibalas dengan anggukan dan senyuman sang Ayah. Sang Ibu kemudian memandang wajah putri kecil di pangkuannya, dia sudah bisa bergerak banyak sekarang. Dia kemudian menyentuh kening lebar putrinya itu dan tersenyum.
"sing pinter nya neng, siga pratiwi soedarmono" [jadi pinter ya neng, kayak pratiwi soedarmono] Sang Ibu menyebutkan nama tokoh astronot wanita pertama Indonesia yang sangat dikaguminya. Sang Ayah kemudian meletakkan nama astronot tersebut pada nama putri barunya itu. Puput Pratiwi Hidayat, begitulah kemudian bayi itu bernama, dan dari situlah perjalanannya dimulai... untuk melihat dunia.

2 comments:

Anonymous said...

Haa?? Puput hari ini ulangtaun?? happy birthdaaayyy!! mudah2an dikasih umur yg berkah..

anggun oktari said...

haa puput.. aku menangis membacanya!!

harus banyak bersyukur put, punya orang tua yang luarbiasa..

kamu teh emang aksel sejati yaa, nepi ka lahir oge aksel.. hehe.. alhamdulillah geuning, nama yg diberikan orangtua dengan banyak harapan itu sesuai dengan orangnya sekarang!! insya Allah, pinter di banyakhal puput mah!^^
hehe.. wilujeng tepang taun ya neng!