Secangkir cafe latte dan dua potong sandwich tuna, teman bisu yang menemani siangnya hari ini. Hujan baru saja berhenti turun, akhirnya... setelah berhari-hari langit mendung hanya menambah kemuraman di hatinya.
"Apa yang kau akan lakukan sekarang?" tanyaku.
Dia menggeleng, lengkungan di bibirnya tak cukup menjelaskan apakah itu senyuman atau sekedar ekspresi rasa malas menjawabnya. Tak ada suara yang keluar. Matanya menerawang jauh melewati jendela kaca, memandang kesibukan jalan raya di luar sana. Aku menunggu.
"dapatkah kamu memberi tahu saya perbedaan antara rasa kesal dan sesal?" Sebaris kalimat meluncur darinya. Aku tak bisa menjawab, benakku sibuk menerka maksud pertanyaannya.
"tidak, aku tak tahu" jawabku. Kali ini dia benar-benar membalasnya dengan senyuman, matanya mengungkapkan hal itu.
"ya, kamu tak tahu, begitu pula dengan saya, mungkin itu yang membuat saya tak tahu apa yang akan saya lakukan sekarang" jawabnya kemudian. Dia menyeruput habis sisa cafe latte dari cangkirnya, kemudian dia berdiri, memutari meja ke arahku dan mencium keningku.
"saya telpon kamu kalau saya tahu apa yang akan saya lakukan selanjutnya" katanya sambil tersenyum.
Dia sudah berbalik untuk pergi saat tanpa sadar aku meraih lengannya, dia menoleh ke arahku dengan pandangan bertanya, senyuman itu tidak menghilang dari wajahnya.
"maafin aku ya..." kataku kemudian.
Tak tahu apakah kata itu tepat untuk dikatakan atau tidak, tapi hanya itu yang terpikirkan olehku. Dan senyuman itu menghilang dari wajahnya, berganti ekspresi datar menunjukkan penyesalan.
"tidak, jangan pernah meminta maaf, kamu memang yang berhak memilih, jangan meminta maaf atas sesuatu yang memang menjadi hak kamu..."
"tapi..." aku berusaha memotong perkataannya.
"tidak! jangan berkata apa-apa lagi, saya mohon...", dia kemudian memandangku lama, "saya tak ingin keinginan saya untuk ada di sampingmu malah membuatmu lemah, tidak sayangku, tidak begitu".
Aku hanya diam memandang kedua mata cokelat itu, berusaha menebak seperti apa perasaan yang berkecamuk dibalik sorot mata itu. Badaikah yang terjadi disana? atau tanah gersang sudah terbentuk disana? Tapi seperti biasanya, aku tak dapat melihat apa-apa. Sorot mata itu bercahaya, tapi bahkan inderaku tak bisa menerka cahaya apa itu. Dia begitu nyata di hadapanku, tapi aku tak pernah dapat mendeskripsikan keberadaannya. Suaranya yang halus selalu dapat menenangkanku, tapi aku tak pernah tahu bagaimana suara itu terbentuk. Wahai Dewa, kenapa kau harus menjadi misteri?
No comments:
Post a Comment