Sunday, April 13, 2008

Dunia setelah kampus

Dimulai dari obrolan gak penting ama Ayu, dan sekalian juga ama si abang tukang kopi, saya ngerjain CV, cover letter dan beberapa hal lainnya berhubungan dengan melamar kerja. Kemudian inget lagi ama obrolan soal dunia kerja bareng Ditha dan Gigit, saat acara STBA.

Selama ini saya kadang-kadang merasa agak meremehkan dunia kerja, dengan berpikir bahwa 'gak terlalu beda jauh lah ama kuliah', cuman tiap hari ada tugas aja, kuliah dikit. Tapi ternyata tak sesimpel itu. Apa yang membuatnya tidak simpel? Uang! tentu saja uang. Saat kuliah mau nilai saya jelek atau bagus, males atau rajin, yang rugi cuman saya, dan studi saya masih bisa berlanjut walau pas-pasan. Tapi tidak saat bekerja. Saya dibayar, orang akan menuntut saya untuk memenuhi bayaran yang telah saya terima. Saya dibayar karenanya saya harus melakukan apa yang diperintahkan.

Sedikit ngobrol dengan ditha, dan kemarin dengan abang tukang kopi di Hope, saya jadi terbayang seperti apa bisnis itu berjalan. Bukan satu manusia yang ditunggu disini, tapi jutaan orang bergerak. Perubahan bisa terjadi setiap saat, langkah yang salah bisa berakibat fatal, karena begitulah bisnis. Tak ada yang mau menunggu. Dan satu karyawan di pojokan kantor yang mungkin kerjaannya hanya blogging dan minum kopi bisa berakibat fatal pada perkembangan perusahaannya ke depannya. (Parahnya, saya membayangkan saya punya potensi untuk menjadi seperti itu -___-)

Masalah lebih besar lagi kalo sudah berhubungan dengan idealisme. Gigit bener-bener bikin saya miris saat dia cerita tentang hal-hal 'dosa' yang sebenernya paling dia kecam saat kuliah terpaksa dia lakukan saat kerja karena memang itulah alasan dia dipekerjakan. Banyak permainan kotor yang terjadi dan kalau gak mau jadi alien, mau-gak-mau harus ikutan arus. Ketidak mungkinan untuk menghindarnya sama kayak berenang di air terjun, apapun yang terjadi pasti jatuh, tinggal milih jatuhnya mau enak atau langsung mati?!

Saat menuliskan usia saya di cover letter saya baru sadar bahwa saya bahkan belum genap 20 tahun (entah bagaimana tanggapan orang yang membaca CV dan cover letter saya). Orang bilang jalan saya masih panjang, orang bilang kesempatan saya masih banyak, tapi apakah saya siap berkotor-kotor ria di usia muda??? Sudahlah, "gak kotor kan gak belajar!" Mungkin begitu jadinya kalau menyitir kalimat salah satu iklan. Tapi buat saya 'kotor yang belajar' itu berbeda dengan 'sengaja nyemplung biar kotor', saya jelas tidak mau mengalami yang kedua.

Mungkin ini salah satu penyebab saya ingin sekolah lagi selepas menyelesaikan studi di elektro. Mungkin saya masih terlalu malas untuk memikirkan hidup setelah ini. Rencana sudah ada kawan, tapi tampaknya itu masih jauh dari realistis. Kampus ini dengan segala pengekangannya ternyata sangat bebas jika dibandingkan dengan dunia setelah kampus ini.

1 comment:

machmoey said...

HIDUP ITU KERAS..!!
diinget aja,
'everyday life itself is enlightenment' ,yg pasti mah byk hal baru